Konflik Palestina: Mengapa Negara Arab Beralih ke Israel?

Hubungan antara negara-negara Arab dan Israel mengalami banyak perubahan selama beberapa dekade, mulai dari penolakan terhadap keberadaan Israel hingga pergeseran menuju normalisasi. Meskipun ada tekanan dari dalam negeri dan tantangan geopolitik, beberapa negara Arab memilih untuk menjalin hubungan resmi dengan Israel, mengundang pertanyaan tentang masa depan konflik Palestina dan dampaknya terhadap stabilitas regional.

Sejak tahun 1947, penolakan terhadap keberadaan negara Israel sudah menjadi bagian dari sejarah panjang yang penuh ketegangan di Timur Tengah. Sejarah ini dimulai ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengusulkan rencana pemisahan yang menimbulkan perpecahan di kalangan negara-negara Arab.

Setelah Holocaust, lebih banyak orang Yahudi bermigrasi ke Palestina, dan saat Israel memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1948, lima negara Arab langsung menginvasi, menghasilkan apa yang disebut dengan Nakba, atau “bencana,” yang memaksa sekitar 700.000 warga Palestina mengungsi.

“Dalam ingatan rakyat Arab, gambar-gambar Palestina masih terjebak, mereka seperti diusir dari rumah mereka,” ujar Raama Jarmakani, seorang jurnalis di DW yang meliput politik Timur Tengah. Ketegangan yang terus berlanjut ini membentuk sikap masyarakat Arab yang umumnya tetap menolak pengakuan dan normalisasi hubungan dengan Israel.

Ketidakpuasan yang Mendalam


Meski ada perubahan sikap dari beberapa pemimpin Arab, sentimen di jalanan tetap tidak berubah. “Opini masyarakat Arab sangat jelas: Israel adalah musuh nomor satu,” kata Hassan al-Hassan, seorang ahli kebijakan luar negeri di kawasan Teluk. Dia menegaskan bahwa dukungan terhadap Palestina dan ketidakpercayaan terhadap Israel masih sangat kuat.

Namun, perlu dicatat bahwa negara-negara Arab sering menghadapi pertimbangan yang lebih kompleks daripada sekadar suara publik. Geopolitik, keamanan, dan hubungan dengan AS menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan. Hari ini, peta politik Timur Tengah menjadi lebih kompleks dengan beberapa negara Arab menjalin hubungan resmi dengan Israel, termasuk Otoritas Palestina di Tepi Barat.

Sejarah Normalisasi


Mesir dan Yordania adalah dua negara pertama yang menandatangani perjanjian damai dengan Israel. Mesir, yang berada dalam kondisi ekonomi yang buruk, menerima bantuan dari AS setelah menandatangani perjanjian damai, namun dengan harga yang mahal: diasingkannya Mesir dari Liga Arab selama bertahun-tahun. Sementara itu, Yordania, yang sebelumnya menghindari kesepakatan, merasakan dorongan setelah Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) mengakui Israel.

Normalisasi hubungan ini tidak semata-mata menciptakan kedekatan. Mesir dan Yordania kini mengimpor gas dari Israel dan saling bergantung satu sama lain untuk kebutuhan sumber daya, meskipun hubungan antara mereka masih jauh dari ideal.

Perjanjian Abraham


Pada tahun 2020, Uni Emirat Arab dan Bahrain menandatangani Perjanjian Abraham, diikuti oleh Maroko dan Sudan. Hal ini memberikan harapan baru untuk perubahan hubungan antara Arab dan Israel, meskipun masih terdapat banyak skeptisisme mengenai keberlanjutan dan hasil dari normalisasi ini.

Penting untuk dicatat bahwa ini semua didorong oleh kepentingan ekonomi dan keamanan, serta keinginan untuk mendapatkan dukungan dari AS. Namun, normalisasi ini bisa jadi tidak berkelanjutan, terutama dengan adanya serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang memicu kembali ketegangan di Gaza.

Ketidakpastian di Tengah Ketegangan


Satu hal yang pasti adalah, saat ini, normalisasi antara negara-negara Arab dan Israel tampaknya menghadapi tantangan yang besar. Dalam konteks situasi Gaza yang semakin memburuk, banyak negara Arab yang tidak menyatakan penghentian hubungan yang telah terjalin, tetapi mereka sangat berhati-hati dalam menavigasi situasi ini.

“Sekarang, sulit bagi banyak negara Arab untuk terlibat dengan Israel,” ungkap seorang analis.

“Namun, negara-negara yang sudah menjalin hubungan tidak menangguhkan hubungan mereka akibat perang ini.” Hal ini menunjukkan bahwa, meski ada perlawanan dari masyarakat, kepentingan politik dan ekonomi tetap mendominasi.

Penutup


Ke depan, sangat penting untuk terus memantau perkembangan ini. Apakah negara-negara Arab akan tetap melanjutkan jalur normalisasi, atau kembali kepada penolakan? Dengan latar belakang sejarah yang panjang dan rumit, serta situasi yang tidak menentu saat ini, harapan untuk solusi yang berkelanjutan bagi Palestina, Israel, dan negara-negara tetangga masih ada, meskipun harus dihadapi dengan skeptisisme dan perhatian.

Masyarakat perlu diajak berpikir kritis tentang isu ini; apakah normalisasi benar-benar membawa stabilitas, atau justru memperburuk ketegangan yang ada? Mengingat bahwa perdamaian di Timur Tengah tidak hanya bergantung pada hubungan diplomatik, tetapi juga pada keadilan bagi rakyat Palestina dan resolusi konflik yang lebih luas.

Krisis Ekonomi London: Dari Mewah ke Miskin dalam 1 Dekade!

Mengapa AS dan China Rebutan Taiwan? Dampaknya bagi Dunia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *