Pengadilan Negeri Niaga Semarang secara resmi menyatakan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) beserta anak perusahaannya mengalami kebangkrutan. Hal ini tercantum dalam putusan Nomor 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg.
Perusahaan tekstil terbesar di Indonesia ini gagal memenuhi kewajiban pembayaran kepada PT Indo Bharat Rayon, sesuai dengan Putusan Homologasi tanggal 25 Januari 2022.
Sritex telah menghadapi masalah keuangan selama bertahun-tahun, di mana beban utang dan defisit modal terus meningkat secara signifikan.
Pada akhir Juni 2024, total aset perusahaan turun 5% menjadi US$ 617 juta (Rp 9,56 triliun), sementara utang perusahaan masih sangat tinggi, mencapai US$ 1,60 miliar (Rp 24,8 triliun).
Kondisi ini memperlihatkan bahwa perusahaan mengalami tekanan keuangan yang serius, dengan defisit modal membengkak hingga US$ 980 juta (Rp 15,19 triliun).
Sritex memiliki kewajiban utang jangka pendek sebesar US$ 131,42 juta (Rp 2,04 triliun), di mana US$ 11,34 juta (Rp 176 miliar) merupakan utang bank jangka pendek kepada Bank Central Asia (BCA).
Selain itu, perusahaan juga menghadapi utang jangka panjang sebesar US$ 1,47 miliar (Rp 22,78 triliun), dengan mayoritas utang berasal dari sindikasi bank internasional seperti Citigroup, DBS, HSBC, dan Shanghai Bank, senilai US$ 330 juta. Beberapa bank domestik, termasuk BCA, Citibank Indonesia, dan Bank QNB Indonesia, juga menjadi kreditur utama perusahaan.
Sebelum dinyatakan pailit, manajemen Sritex telah mencoba melakukan restrukturisasi utang dengan berbagai bank.
Mereka juga aktif menyelesaikan proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) serta berusaha mencapai kesepakatan damai dengan para kreditur. Namun, tekanan finansial yang dihadapi perusahaan terlalu besar, terutama dengan beban utang yang terus membengkak. Kondisi ini diperparah oleh laporan keuangan yang menunjukkan ketidakpastian material terkait kelangsungan usaha.
Sebagai bagian dari strategi efisiensi, Sritex melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap ribuan karyawan. Sepanjang tahun 2023, perusahaan telah memangkas 2.232 karyawan, menurunkan jumlah dari 16.370 di akhir 2022 menjadi 14.138.
Pada akhir Juni 2024, jumlah karyawan kembali berkurang menjadi 11.249, artinya ada pengurangan tambahan sebanyak 2.889 karyawan dalam kurun waktu enam bulan. Namun, PHK ini bukan hanya berdampak pada karyawan Sritex, tetapi juga para vendor dan mitra usaha yang bergantung pada bisnis perusahaan.
Dengan putusan pailit ini, nasib lebih dari 20.000 karyawan Sritex menjadi tidak pasti. Banyak dari mereka yang terancam kehilangan pekerjaan tanpa jaminan pesangon.
Menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi, kebangkrutan Sritex tidak hanya berdampak pada karyawan langsung, tetapi juga keluarga mereka dan berbagai pihak terkait yang kehidupannya bergantung pada operasional perusahaan.
Laporan keuangan Sritex tahun 2023 yang diaudit oleh Kanana Puradiredja, Suhartono memperoleh opini “Wajar dengan Pengecualian.” Opini ini menunjukkan adanya kesalahan penyajian dalam laporan keuangan yang cukup signifikan, meskipun tidak menyeluruh. Ini menambah panjang daftar masalah yang dihadapi perusahaan, baik dari segi keuangan maupun manajemen.