Setelah PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex (SRIL) dinyatakan pailit, seluruh karyawan perusahaan, mulai dari divisi produksi hingga sopir, kompak mengenakan pita hitam bertuliskan “Selamatkan Sritex” di lengan kiri.
Pita hitam ini juga digunakan oleh para pedagang di sekitar pabrik, sebagai tanda dukungan moral bagi perusahaan.
Melalui unggahan di Instagram @sritexindonesia pada Minggu (27/10), Sritex menyatakan bahwa pita hitam yang dikenakan keluarga besar Sritex bukan sekadar tanda kesedihan, melainkan lambang kebangkitan.
Unggahan tersebut menjelaskan bahwa pita hitam ini adalah simbol energi kolektif dari seluruh karyawan dan pemangku kepentingan Sritex untuk memperjuangkan masa depan yang lebih cerah.
Pengadilan Niaga (PN) Semarang menyatakan pailit terhadap PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex berdasarkan putusan nomor 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg.
Baca: Gagal Tangani Utang Triliunan Rupiah, Perusahaan Tekstil Terbesar di Indonesia Dinyatakan Pailit
Ketua Hakim, Moch Ansor, memutuskan perkara ini pada Senin (21/10), menanggapi permohonan pemohon yang menyatakan bahwa Sritex gagal memenuhi kewajiban pembayaran sebagaimana disepakati dalam Putusan Homologasi tertanggal 25 Januari 2022.
Pemohon juga meminta pembatalan atas Putusan Pengadilan Niaga Semarang Nomor No. 12/ Pdt.Sus-PKPU/2021.PN.Niaga.Smg yang mengesahkan Rencana Perdamaian (Homologasi), serta meminta Sritex dinyatakan pailit dengan segala konsekuensi hukumnya.
Sritex segera mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas putusan pailit tersebut.
Menurut GM HRD Sritex Group, Haryo Ngadiyono, perusahaan masih tetap beroperasi, dan manajemen tidak akan mengambil langkah pemutusan hubungan kerja (PHK) massal selama ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
“Hari ini sudah melayangkan kasasi ke Mahkamah Agung,” jelas Haryo di Menara Wijaya, Sukoharjo, Jumat (25/10). Ia memastikan bahwa semua karyawan tetap bekerja dengan normal, dan belum ada rencana PHK dari pihak manajemen.
Sritex Group, yang meliputi beberapa anak perusahaan seperti PT Primayudha Mandirijaya di Boyolali dan PT Sinar Pantja Djaja serta PT Bitratex Industries di Semarang, mempekerjakan puluhan ribu karyawan di seluruh Indonesia.
Jika perusahaan ini dinyatakan pailit dan harus tutup, dampaknya bisa dirasakan oleh ratusan ribu orang, termasuk keluarga para karyawan yang bergantung pada penghasilan dari Sritex.
Haryo menegaskan bahwa Sritex masih berupaya mempertahankan kelangsungan bisnisnya dengan menempuh jalur hukum.
Perusahaan berpendirian kuat untuk terus beroperasi selama masih ada upaya hukum yang memungkinkan.
“Tidak akan melakukan PHK massal manakala kondisi ini masih bisa dilakukan upaya hukum tadi (kasasi). Karena bukan perusahaan (Sritex) yang mempailitkan, ini kan perusahaan masih jalan, yang mempailitkan pihak ketiga. Tentu ada upaya-upaya untuk penyelesaian masalahnya,” tutupnya.