Warga Indonesia bernama Hanter Oriko Siregar mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Gugatan ini bertujuan untuk menghapus persyaratan Test of English as a Foreign Language (TOEFL) dalam proses rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan juga pada beberapa perusahaan swasta di Indonesia.
Hanter berpendapat bahwa syarat TOEFL tersebut menghalangi peluang warga negara dalam memperoleh pekerjaan di negeri sendiri.
Pada Selasa, 12 November 2024, gugatan tersebut resmi teregistrasi dengan nomor perkara 159/PUU-XXII/2024.
Sebagai warga kelahiran 1996, Hanter mengaku syarat TOEFL telah menjadi penghalang dalam mengikuti seleksi CPNS di berbagai instansi pada tahun 2024.
Dia menekankan bahwa beberapa instansi menetapkan skor TOEFL minimal 450 sebagai syarat mutlak dalam rekrutmen, sementara dirinya hanya mampu meraih skor tertinggi 370 setelah mencoba empat kali tes.
Hanter berargumen bahwa kewajiban memiliki sertifikat TOEFL untuk melamar CPNS atau pekerjaan di perusahaan swasta telah melanggar hak konstitusionalnya, yang dijamin dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
Dia berpendapat bahwa penggunaan TOEFL sebagai syarat wajib tanpa memperhitungkan kemampuan atau kompetensi warga negara dalam bidang lain adalah bentuk ketidakadilan yang tidak sesuai dengan amanat konstitusi.
Dalam keterangannya, Hanter menilai bahwa kebijakan ini cenderung membuka peluang bagi pemerintah dan perusahaan untuk memberlakukan syarat yang tidak adil dalam proses rekrutmen.
Selain itu, dia mempersoalkan penerapan TOEFL sebagai syarat kelulusan di sejumlah perguruan tinggi, terutama bagi mahasiswa yang bukan dari jurusan bahasa Inggris.
Hanter menganggap syarat ini tidak hanya memberatkan, tetapi juga menimbulkan kecurangan, di mana banyak orang terpaksa menggunakan sertifikat TOEFL palsu.
Menurut Hanter, persyaratan TOEFL yang diwajibkan dalam proses seleksi kerja lebih cenderung menjadi bisnis semata.
Dia merasa bahwa hal ini tidak relevan, terutama bagi pencari kerja yang tidak memerlukan keterampilan bahasa Inggris tingkat tinggi untuk pekerjaannya.
Hanter juga menekankan bahwa persyaratan TOEFL ini justru menghalangi warga negara untuk bekerja di negerinya sendiri, mengingat banyak pekerjaan di Indonesia tidak selalu memerlukan kemampuan bahasa Inggris yang tinggi.
Selain itu, dia menyoroti bahwa banyak negara seperti Rusia, Turki, Jepang, dan China tidak memberlakukan TOEFL sebagai syarat wajib bagi warga negara mereka yang ingin bekerja, melanjutkan studi, atau mendapatkan beasiswa.
Hanter berpendapat bahwa Indonesia sebagai negara berdaulat juga seharusnya memberi kesempatan yang sama bagi warganya untuk bekerja tanpa harus mengikuti syarat bahasa asing.
Hanter juga menekankan pentingnya peran bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara, yang telah diatur dalam Pasal 36 UUD 1945.
Baginya, kewajiban menggunakan TOEFL sebagai syarat rekrutmen berpotensi mengurangi nilai dan keberadaan bahasa Indonesia dalam sektor ketenagakerjaan.
Dia berharap agar pemerintah lebih memperhatikan bahasa Indonesia sebagai media komunikasi resmi dalam rekrutmen tenaga kerja.
Permohonan di Mahkamah Konstitusi
Dalam gugatan ini, Hanter menyampaikan beberapa tuntutan, antara lain:
- Meminta MK untuk mengabulkan permohonannya secara penuh.
- Menyatakan bahwa Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, dan menyatakan pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai bahwa “pemberi kerja harus menggunakan bahasa Indonesia selama perusahaannya berkedudukan di Indonesia.”
- Menyatakan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kecuali jika dimaknai bahwa setiap warga negara Indonesia berhak untuk menjadi ASN dengan syarat yang tidak bertentangan dengan konstitusi.
- Memerintahkan putusan ini dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Sebagai penutup, Hanter juga mengingatkan Mahkamah Konstitusi untuk memberikan keputusan yang adil dalam mempertimbangkan gugatan ini.
Dia berharap agar putusan MK dapat mendorong perubahan kebijakan yang lebih adil dan sesuai dengan konstitusi, demi memperluas peluang kerja bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa diskriminasi bahasa.