KHABAR, PALANGKA RAYA – Konten viral yang menirukan gaya bicara Gubernur Kalimantan Tengah, H. Agustiar Sabran, di media sosial menjadi sorotan publik dan memicu perdebatan soal etika dan hukum dalam bermedia sosial.
Advokat Suriansyah Halim menilai bahwa video tersebut tidak melanggar hukum pidana.
Namun, ia menegaskan bahwa secara etika, konten tersebut tidak layak untuk dikonsumsi publik.
Tidak Penuhi Unsur Pelanggaran Hukum
Menurut Suriansyah, video itu belum bisa dikategorikan sebagai tindak pidana.
“Konten kreator tersebut hanya mengulang-ulang kalimat yang pernah diucapkan oleh Agustiar Sabran sebagai Gubernur Kalimantan Tengah, yang merupakan saudara dari mantan Gubernur Kalimantan Tengah juga yaitu Sugianto Sabran,” jelas Suriansyah, Minggu (20/4/2025).
Ia menyampaikan bahwa dalam sudut pandang hukum, tidak ada unsur yang bisa menjerat pembuat konten tersebut secara pidana.
Namun, ia menekankan bahwa dalam ruang publik, etika juga memiliki tempat yang penting.
Sorotan Etika Bermedia Sosial
Meski tak melanggar hukum, Suriansyah menyayangkan konten tersebut karena bisa dianggap menyindir atau merendahkan tokoh publik.
“Meskipun tidak ada pelanggaran hukum yang jelas, konten semacam itu dapat menyinggung pihak lain, terlebih jika menyasar figur publik seperti Gubernur Kalimantan Tengah,” tambahnya.
Ia menyarankan masyarakat agar lebih bijak dalam membuat konten, terlebih menyangkut tokoh pemerintah.
“Jika mau buat konten, baiknya berisi hal-hal positif seperti kritik membangun dengan masuk-masukan yang dianggap perlu dan kurang, bukan dengan mengulang-ulang kelemahan bicara,” lanjutnya.
Menurutnya, kritik terhadap pejabat bisa disampaikan secara lebih elegan dan tidak dengan cara yang mempermalukan.
Imbauan untuk Konten Kreator
Suriansyah menilai bahwa banyak konten kreator saat ini lebih fokus mengejar viralitas dibanding menjaga etika dan martabat orang lain.
“Selain itu jelas konten tersebut dapat membuat malu, tapi kelihatannya konten kreator sekarang lebih mementingkan viral meskipun dengan membuat malu orang lain,” pungkasnya.
Ia menegaskan pentingnya membatasi antara kebebasan berekspresi dengan etika dalam menyampaikan pendapat di ruang digital.
Fenomena ini menjadi pelajaran bagi publik agar lebih cermat dalam memproduksi dan mengonsumsi konten di media sosial. (asp)