Apakah kita sudah siap menghadapi perubahan besar dalam dunia pekerjaan yang disebabkan oleh fenomena gig economy? Dalam pernyataan yang mengundang perhatian, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyoroti potensi tren ini sebagai salah satu ciri masa depan ekonomi Indonesia. Hal ini disampaikan dalam Kongres ke-22 Asosiasi Ekonomi Indonesia (ISEI) dan Seminar Nasional ISEI 2024 yang berlangsung di Surakarta, Jawa Tengah.
Gig economy adalah sistem ekonomi di mana pekerjaan dilakukan secara sementara atau part-time, sering kali melalui platform digital. Dalam gig economy, pekerja (freelancer atau kontraktor) dipekerjakan untuk menyelesaikan tugas tertentu atau proyek tanpa adanya komitmen jangka panjang dari perusahaan. Contoh umum termasuk pengemudi layanan ride-hailing, pekerja lepas di bidang kreatif, atau penyedia layanan berdasarkan permintaan. Model ini memungkinkan fleksibilitas bagi pekerja, tetapi juga dapat menyebabkan ketidakpastian dalam hal pendapatan dan stabilitas kerja.
Dalam acara tersebut, Jokowi mengingatkan agar berhati-hati dengan ekonomi gig, yang dapat mengarah pada ketergantungan perusahaan pada freelancer. “Berhati-hatilah dengan gig economy ini. Ini adalah ‘ekonomi part-time’. Jika tidak dikelola dengan baik, ini akan menjadi tren, di mana perusahaan lebih memilih pekerja freelance,” ungkapnya. Pernyataan ini tentu menimbulkan pertanyaan penting: bagaimana kita bisa memanfaatkan potensi ini tanpa mengorbankan stabilitas pekerjaan jangka panjang?
Jokowi menambahkan bahwa tren ini dapat menyebabkan perusahaan lebih memilih pekerja dengan kontrak jangka pendek, yang bertujuan untuk mengurangi dampak ketidakpastian ekonomi global. Di era gig economy, kemampuan untuk mempekerjakan pekerja dari dalam atau luar negeri menjadi lebih mudah, tetapi ada risiko bahwa ini akan mengurangi jumlah pekerjaan yang tersedia bagi tenaga kerja lokal.
Presiden juga menekankan pentingnya kongres dan seminar ISEI 2024 dalam menghasilkan studi dan strategi taktis untuk menghadapi situasi ekonomi mendatang. “Kita membutuhkan tindakan taktis, bukan rencana makro yang sulit diimplementasikan dalam situasi yang sangat sulit ini,” tegasnya. Hal ini mengingatkan kita bahwa tindakan konkret lebih dibutuhkan dibandingkan dengan rencana besar yang mungkin sulit diterapkan di lapangan.
Tak hanya itu, Jokowi juga mencermati tantangan yang ditimbulkan oleh otomatisasi, yang semakin meluas berkat kemajuan kecerdasan buatan (AI). Ia menyebutkan bahwa otomatisasi berpotensi mengganggu setidaknya 85 juta pekerjaan pada tahun 2025. “Pada awalnya, kita hanya memiliki otomatisasi yang bersifat mekanis, dan sekarang, AI (telah muncul) dengan otomatisasi analitiknya. Hal-hal baru muncul setiap hari dan pada tahun 2025, 85 juta pekerjaan akan tergeser karena peningkatan otomatisasi di berbagai sektor,” jelasnya.
Melihat gambaran yang lebih besar, tantangan-tantangan ini seharusnya mendorong kita untuk lebih kritis dalam mempertimbangkan masa depan kerja di Indonesia. Apakah kita hanya akan mengikuti arus dan menerima setiap perubahan tanpa tindakan nyata? Atau, kita bisa menciptakan strategi yang akan membantu pekerja beradaptasi dengan kondisi baru ini? Keterlibatan semua pihak, dari pemerintah hingga sektor swasta, sangat penting untuk menciptakan ekosistem yang sehat di tengah perubahan ini.
Jadi, apakah kita siap untuk menghadapi tantangan dan potensi dari gig economy dan otomatisasi? Mari kita ingat bahwa setiap tantangan juga membawa peluang, dan dengan pemikiran positif serta tindakan yang tepat, kita bisa mengubah tantangan ini menjadi keberhasilan bagi masa depan pekerjaan di Indonesia.