Masih Perlukah Buku di Era Google? Ini Jawaban Dispursip Palangka Raya

Bimbingan Teknis Literasi Informasi bertema “Apakah Buku Masih Relevan di Era Digital?” yang digelar di Aula Kasanang Atei, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Palangka Raya, sukses menggugah kesadaran pentingnya literasi di tengah derasnya arus informasi digital.

Kegiatan ini berlangsung pada 26 Juni 2025 dengan dihadiri sekitar 50 peserta yang terdiri dari pustakawan, guru, tenaga pustaka, hingga pegiat literasi dari berbagai kalangan.

Acara dibuka oleh Sekretaris Daerah Kota Palangka Raya, Arbert Tombak, yang mewakili Wali Kota sekaligus menyampaikan sambutan resminya.

Dalam sambutannya, Wali Kota Palangka Raya mengapresiasi Bimtek ini sebagai langkah strategis untuk memperkuat sumber daya manusia yang berpikir kritis dan adaptif.

Wali Kota menegaskan komitmennya dalam mendukung perkembangan literasi dan pemerataan informasi kepada seluruh warga kota.

“Literasi bukan pilihan, tapi sebuah keharusan untuk bertahan dan berkembang di era informasi,” tegasnya.

Melalui program ini, Dinas Perpustakaan juga memberikan bantuan buku kepada lima kelurahan sebagai bentuk pemerataan akses informasi.

Dengan semangat Semakin KEREN (Kolaboratif, Ekonomi Maju, Religius, Energik, Nyaman), kegiatan ini menjadi ruang aktualisasi yang kuat bagi para peserta.


Perpustakaan Digital & Tantangan Literasi di Era Modern

Pemateri pertama, Arizal S.I. Pust, M.I.Kom, Kepala Perpustakaan Poltekkes Kemenkes Palangka Raya, menyoroti urgensi literasi informasi di tengah derasnya perkembangan teknologi.

Menurutnya, penetrasi teknologi masyarakat Indonesia mencapai 80% pada tahun 2024, namun minat membaca justru minim.

Ia menyebut, rata-rata masyarakat Indonesia terkoneksi internet mencapai 7 jam per hari, namun belum dibarengi dengan kemampuan literasi informasi yang memadai.

“Indonesia menduduki posisi tertinggi dalam kasus judi online,” ujar Arizal, menyoroti risiko keamanan digital dan rendahnya kemampuan verifikasi informasi.

Ancaman hoaks dan jurnal predator disebut Arizal sebagai bukti nyata bahwa masyarakat belum siap menghadapi era informasi tanpa bekal literasi yang kuat.

Ia mengajak peserta untuk memahami struktur literasi informasi, dari mengakses, mengevaluasi, hingga menyebarkan informasi yang akurat.

Arizal juga menyarankan penggunaan situs-situs verifikasi seperti cekfakta.com dan turnbackhoax.id dalam membentengi diri dari informasi palsu.


Pendidikan Numerasi dan Strategi Peningkatan Kualitas SDM

Pemateri kedua, Ardian Mustika Fajar, S.Kom, M.Si dari BGTK Kalimantan Tengah, fokus membahas lemahnya kemampuan numerasi di Indonesia.

Ia mengutip data bahwa mayoritas siswa Indonesia hanya mampu menjawab soal-soal berpikir tingkat rendah (level 3 HOTS), sedangkan negara lain sudah mampu menyentuh level 6.

“Stigma bahwa matematika itu sulit adalah akar masalah rendahnya kemampuan numerasi,” jelas Ardian.

Ia menyarankan agar pembelajaran matematika diajarkan secara menyenangkan dan aplikatif, guna menumbuhkan logika dan nalar kritis siswa sejak dini.

Menurutnya, rendahnya numerasi berdampak langsung pada kemampuan pengambilan keputusan, peluang kerja, hingga daya saing global.

Untuk itu, ia mendorong pembukaan pojok-pojok literasi dan pelatihan berbasis buku bacaan bermutu di sekolah-sekolah seluruh Indonesia.


Peran Media dan Individu dalam Menangkal Hoaks

Pemateri ketiga, Jadmiko A. Wicaksono, S.T., M.Si dari TVRI Kalimantan Tengah, menegaskan bahwa kemampuan memilah informasi adalah keahlian paling vital saat ini.

Ia menjelaskan, informasi yang tidak diseminasi secara baik akan memicu polarisasi opini, menurunnya kualitas demokrasi, hingga konflik horizontal.

“Tanpa kemampuan literasi, masyarakat akan mudah terprovokasi dan kehilangan solidaritas sosial,” ujarnya.

Solusi yang ia tawarkan meliputi:

  1. Edukasi digital dan pelatihan literasi media.
  2. Kampanye digital melalui infografis dan konten edukatif.
  3. Kolaborasi antara pemerintah, media, dan content creator.

Ia menekankan pentingnya membaca buku fisik karena terbukti meningkatkan daya tahan berpikir jangka panjang dan ketajaman literasi.


Tanya Jawab dan Rencana Masa Depan

Dalam sesi diskusi, seorang peserta menanyakan mengapa harus ke perpustakaan jika semua informasi bisa didapatkan di media sosial.

Menanggapi itu, narasumber menjawab bahwa teknologi hanyalah alat, bukan pengganti berpikir kritis—maka perpustakaan tetap relevan sebagai pusat pengetahuan terverifikasi.

Ada juga pertanyaan tentang anak-anak SMP yang tidak bisa membaca dan hanya mengandalkan voice note untuk komunikasi.

Kepala Dinas Perpustakaan Kota Palangka Raya, Yon Benhur juga menyebut sedang merencanakan pembangunan perpustakaan baru di kawasan Jekan Raya atau Bukit Batu untuk menjangkau lebih banyak anak-anak.


Pesan Penutup: Literasi Adalah Tanggung Jawab Kolektif

Dalam closing statement, semua narasumber sepakat bahwa literasi adalah tanggung jawab bersama antara pendidik, pustakawan, dan seluruh lapisan masyarakat.

“Ketika informasi yang baik dimiliki, hidup seseorang bisa berubah,” tegas seorang pemateri.

Literasi tidak hanya tentang kemampuan membaca, tapi juga tentang membentuk warga negara yang kritis, logis, dan bijak dalam bertindak.

Mereka berharap agar kegiatan ini mampu memicu perubahan nyata di sekolah-sekolah dan lingkungan sosial, terutama dalam menghidupkan kembali peran perpustakaan.

Bimtek ini menjadi sinyal bahwa buku masih memiliki tempat penting, bahkan di era digital yang serba cepat ini.

Ultimatum 3×24 Jam: Ormas Dayak Menuntut Keadilan!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *