Israel melarang Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, untuk memasuki negara tersebut. Ini disebabkan oleh kegagalan Guterres dalam mengecam serangan rudal Iran ke Israel pada 1 Oktober 2024. Menurut Israel, Guterres tidak pantas untuk menginjakkan kakinya di tanah Israel.
Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz, dengan tegas menyatakan, “Siapa pun yang tidak dapat dengan tegas mengutuk serangan kejam Iran terhadap Israel tidak pantas menginjakkan kaki di tanah Israel.” Katz juga menuduh Guterres mendukung teroris, termasuk menyebutnya sebagai Sekjen PBB yang “anti-Israel”.
Tuduhan Mendukung Organisasi Teroris
Israel Katz tak berhenti sampai di situ. Ia menuduh Guterres sebagai pendukung kelompok-kelompok yang oleh Israel dianggap sebagai organisasi teroris, seperti Hamas, Hizbullah, Houthi, dan kini Iran. Katz menyebutkan bahwa kelompok-kelompok ini adalah bagian dari “induk teror global”, dan menambahkan bahwa sejarah akan mencatat Guterres sebagai noda dalam perjalanan PBB karena sikapnya yang dianggap berpihak pada teroris.
Tuduhan seperti ini tentunya sangat serius, terutama di tengah situasi konflik yang makin memanas di Timur Tengah. Katz bahkan tidak ragu untuk menyebut Guterres sebagai pendukung “pemerkosa, pembunuh, dan teroris.”
Seruan Guterres untuk Gencatan Senjata
Setelah serangan rudal dari Iran, Guterres memang tidak secara langsung mengecam Iran, tetapi ia mengutuk meluasnya konflik di Timur Tengah dan menyerukan gencatan senjata segera. Menurut Guterres, penting untuk menghentikan permusuhan dan fokus pada perlindungan warga sipil serta infrastruktur. Ia juga menyerukan penerapan Resolusi Dewan Keamanan PBB 1559 dan 1701, yang berkaitan dengan stabilitas Lebanon dan perlucutan senjata milisi non-negara.
Namun, pernyataan ini tidak memuaskan Israel. Bagi Katz dan pemerintah Israel, sikap Guterres dianggap terlalu netral dan tidak mencerminkan kecaman tegas terhadap aksi yang mereka sebut sebagai agresi dari Iran.
Serangan Iran ke Israel
Latar belakang dari pernyataan keras Israel ini adalah serangan yang diluncurkan Iran pada 1 Oktober 2024, ketika lebih dari 180 rudal balistik dan hipersonik ditembakkan ke wilayah Israel. Meski sistem pertahanan udara Israel, Iron Dome, berhasil mencegat sebagian besar rudal, beberapa di antaranya berhasil menembus dan menyebabkan kerusakan di sejumlah lokasi.
Iran mengklaim serangan ini sebagai balasan atas apa yang mereka sebut sebagai “genosida” yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina dan Lebanon. Mereka juga merespon kematian dua pemimpin besar, yakni Ismail Haniyeh dari Hamas dan Hassan Nasrallah dari Hizbullah, yang terbunuh dalam serangan Israel sebelumnya.
Pejabat PBB Lainnya Juga Dilarang Masuk Israel
Tidak hanya Guterres yang dilarang, beberapa pejabat PBB lainnya juga mengalami nasib serupa. Salah satunya adalah Francesca Albanese, Pelapor Khusus PBB yang telah lama dituduh Israel sebagai pendukung Palestina. Selain itu, visa kepala kantor kemanusiaan PBB di Wilayah Palestina yang diduduki juga tidak diperpanjang oleh Israel. Keputusan ini diambil setelah PBB merilis laporan yang menuduh Israel melanggar hak-hak anak-anak Palestina.
Konflik Gaza dan Lebanon Memanas
Situasi di Timur Tengah terus memanas, terutama di Jalur Gaza dan Lebanon. Sejak serangan Hamas pada awal Oktober lalu, Israel telah melancarkan serangan besar-besaran ke Jalur Gaza. Serangan ini telah menewaskan lebih dari 41.600 orang, kebanyakan dari mereka adalah wanita dan anak-anak. Di Lebanon, situasinya tak kalah genting, dengan lebih dari 1.000 korban jiwa akibat serangan Israel yang dimulai sejak 23 September 2024. Selain itu, hampir 3.000 orang dilaporkan terluka.
Ketegangan ini semakin membesar, dan Israel semakin tegas dalam mempertahankan posisinya. Bagi Israel, tindakan Guterres dan beberapa pejabat PBB dianggap tidak membantu dalam mengurangi eskalasi konflik, melainkan justru memperburuk situasi dengan tidak mengecam pihak-pihak yang mereka anggap sebagai pelaku utama teror di kawasan tersebut.