Khabar – Apakah mungkin kepemimpinan baru Iran bisa membawa angin segar dalam hubungan internasionalnya? Sejak Juli lalu, Iran di bawah kepemimpinan baru Presiden Masoud Pezeshkian tampaknya menunjukkan minat untuk membuka kembali jalur diplomasi dengan Barat, dengan harapan dapat memperbaiki hubungan dan meringankan sanksi yang selama ini membebani negara tersebut.
Namun, tantangan besar tetap membayangi upaya ini. Iran masih terjebak dalam konflik dengan Israel dan Lebanon, perjanjian nuklir yang hancur, serta ekonomi yang terpuruk akibat sanksi internasional. Menurut seorang diplomat anonim, “Dalam hal ini, waktu tidak berpihak pada Iran.”
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken juga menegaskan, “Destabilizing actions like these will achieve exactly the opposite,” merujuk pada tuduhan bahwa Iran mengirimkan misil balistik ke Rusia, yang dinilai akan menghambat upaya diplomasi Iran.
Sanksi terbaru dari AS, meskipun dianggap lebih ringan dari yang diperkirakan, terutama menargetkan sektor penerbangan sipil Iran dan mungkin membutuhkan waktu beberapa bulan untuk berlaku. Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Iran mengecam tuduhan transfer senjata sebagai “propaganda jahat dan kebohongan yang terang-terangan.”
Nicole Grajewski dari Carnegie Endowment mengamati bahwa kebijakan Iran seringkali beroperasi di dua jalur berbeda: “Sementara kepemimpinan sipil mungkin mendorong reformasi atau diplomasi, aparat militer dan keamanan memiliki tujuan jangka panjang sendiri.”
Di tengah krisis domestik dan internasional, termasuk perang Gaza dan ketidakpuasan domestik terhadap tindakan keamanan, Pezeshkian berusaha menjaga dukungan dari Ayatollah Khamenei. Khamenei sendiri memberikan komentar ambigu, memperingatkan agar tidak mempercayai musuh, dengan menyatakan, “We do not have to pin our hope to the enemy. For our plans, we should not wait for approval by the enemies.”
Pezeshkian juga membentuk kabinet dengan menempatkan orang-orang yang berpengalaman dalam diplomasi, seperti mantan Menteri Luar Negeri Mohammad Javad Zarif dan Abbas Araghchi, untuk mendukung upaya diplomatiknya. Sina Azodi dan Suzanne Maloney mencatat bahwa Pezeshkian berusaha keras menjaga dukungan Khamenei sambil menghadapi tantangan dalam memperoleh kesepakatan dengan Barat.
Sementara itu, upaya untuk menghidupkan kembali perjanjian nuklir 2015 masih terhambat sejak AS menarik diri pada 2018. Struktur perjanjian saat ini dianggap tidak mungkin jika dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu.
Meskipun tantangan yang dihadapi, Pezeshkian tampaknya tetap berkomitmen untuk mengakhiri isolasi negara dan mencari jalan menuju pemulihan hubungan internasional. Seperti yang dikatakan Rafael Grossi, “I encourage Iran to facilitate such a meeting in the not-too-distant future so that we can establish a constructive dialogue that leads swiftly to real results.”
Bagaimana nasib diplomasi Iran ke depan? Apakah Pezeshkian bisa mengatasi tantangan-tantangan besar ini dan membuka jalan bagi hubungan yang lebih baik dengan Barat? Hanya waktu yang akan menjawab.
Situasi yang dihadapi Iran saat ini merupakan cermin dari tantangan diplomasi di dunia modern. Kepemimpinan baru Iran di bawah Masoud Pezeshkian memang menunjukkan niat baik untuk menjalin hubungan yang lebih baik dengan Barat, namun langkah tersebut tidaklah mudah. Dengan berbagai isu domestik dan internasional yang membebani, Iran harus menunjukkan keseriusan dan konsistensi dalam upayanya.
Dukungan dan sinergi antara kepemimpinan sipil dan aparat militer serta keamanan akan menjadi kunci dalam mencapai kesepakatan yang berarti. Apakah Iran dapat menemukan keseimbangan ini dan menghadapi tantangan yang ada dengan cara yang konstruktif? Ini adalah pertanyaan besar yang memerlukan perhatian dan keterbukaan dari semua pihak yang terlibat.