Khabar – Apa yang memotivasi Jerman untuk mengubah aturan migrasi dan memperketat kontrol perbatasan? Baru-baru ini, Jerman memulai langkah baru dengan menerapkan kontrol ketat di semua perbatasan daratnya. Kebijakan ini mencakup perbatasan dengan negara-negara Schengen seperti Prancis, Luksemburg, Belanda, Belgia, dan Denmark, di samping yang sudah ada dengan Austria, Swiss, Republik Ceko, dan Polandia. Kontrol ini akan berlangsung selama enam bulan, memberikan kekuasaan kepada Berlin untuk menolak orang di semua perbatasan darat.
Langkah ini menandai pergeseran besar dalam kebijakan migrasi Jerman yang sebelumnya dikenal lebih terbuka. Di bawah kepemimpinan Angela Merkel, Jerman menyambut lebih dari satu juta pendatang baru selama krisis migrasi 2015-2016. Namun, saat ini, Jerman mengikuti jejak negara-negara Eropa lainnya dalam memperketat aturan.
Menteri Dalam Negeri Nancy Faeser menjelaskan, “Jerman memperkuat keamanan internal melalui tindakan konkret” dan menekankan “pendirian tegas terhadap migrasi tidak teratur.” Faeser menegaskan bahwa tujuan dari langkah ini adalah untuk melindungi warga Jerman dari terorisme Islam dan kejahatan lintas batas serius.
Namun, kebijakan ini tidak berjalan mulus. Langkah ini telah menguji kesatuan blok Eropa dan menarik kritik dari tetangga Jerman. Perdana Menteri Polandia Donald Tusk menyebut kontrol yang lebih ketat di perbatasan darat sebagai langkah yang tidak dapat diterima, meminta pembicaraan mendesak dengan negara-negara terkait. Yunani dan Austria juga memperingatkan bahwa mereka tidak akan menerima migran yang ditolak oleh Jerman.
Dewan Migrasi Jerman mengkritik rencana tersebut, mengatakan bahwa ini berpotensi melanggar hukum UE dan menyebutnya sebagai bentuk populisme berbahaya dalam debat kebijakan migrasi. Mereka menyerukan debat berbasis bukti tentang kebijakan migrasi di Eropa.
Pemerintah Jerman di bawah pimpinan Kanselir Olaf Scholz telah merespons kritik dengan langkah-langkah untuk menangani imigrasi yang tidak terkendali. Kebijakan migrasi negara ini semakin ketat, terutama setelah lonjakan kedatangan dari Timur Tengah dan Ukraina serta serangan teror yang dimotivasi oleh terorisme Islam.
Paket keamanan baru ini dilatarbelakangi oleh serangan fatal di kota Solingen pada 23 Agustus, di mana tiga orang ditikam hingga tewas oleh pria Suriah berusia 26 tahun dengan dugaan hubungan dengan ISIS. Pria tersebut seharusnya sudah dideportasi sebelum kejadian ini.
Langkah Jerman untuk memperketat kontrol perbatasan mencerminkan keinginan untuk memastikan keamanan dalam negeri di tengah tantangan migrasi global. Meskipun kebijakan ini dapat memicu ketegangan di Eropa dan mendapat kritik dari berbagai pihak, penting untuk melihatnya sebagai bagian dari upaya Jerman untuk menyeimbangkan antara keamanan dan kemanusiaan. Perubahan ini tentunya memerlukan dialog yang lebih mendalam antara negara-negara Eropa agar solusi yang diambil tidak hanya efektif tetapi juga adil bagi semua pihak. Kita perlu melihat bagaimana kebijakan ini akan berdampak pada hubungan antarnegara dan situasi migrasi di masa depan.