Gubernur Kalimantan Selatan, Sahbirin Noor, resmi menjadi tersangka kasus suap dan gratifikasi yang diumumkan oleh KPK pada Selasa (8/10/2024). Penetapan tersangka ini menandai langkah serius dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, mengungkapkan bahwa Sahbirin ditetapkan bersama enam tersangka lainnya, termasuk pejabat daerah, swasta, dan pengusaha.
Penetapan Tersangka
Pada 8 Oktober 2024, KPK secara resmi mengumumkan bahwa Gubernur Kalimantan Selatan, Sahbirin Noor, telah ditetapkan sebagai tersangka. “Ini adalah langkah penting dalam menindaklanjuti kasus suap dan gratifikasi di daerah,” kata Nurul Ghufron. Penetapan ini dilakukan bersamaan dengan enam tersangka lainnya yang terlibat dalam kasus ini.
Bukti Awal
KPK menyatakan bahwa telah ditemukan bukti permulaan yang cukup terkait dugaan tindak pidana korupsi. Nurul Ghufron menegaskan, “Telah ditemukan bukti permulaan yang cukup terkait dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara negara atau yang mewakilinya di Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2024-2025.” Ini menunjukkan bahwa penyelidikan KPK berjalan dengan baik dan mendalam.
Dugaan Penerimaan Fee
Sahbirin diduga menerima fee 5% dari beberapa proyek besar di Kalimantan Selatan. Proyek-proyek tersebut meliputi:
- Pembangunan Lapangan Sepakbola di Kawasan Olahraga Terintegrasi dengan nilai Rp 23.248.949.136.
- Pembangunan Gedung Samsat Terpadu senilai Rp 22.268.020.250.
- Pembangunan Kolam Renang di Kawasan Olahraga Terintegrasi dengan nilai Rp 9.178.205.930.
Angka-angka ini mencerminkan besarnya potensi kerugian yang dialami negara akibat praktik korupsi ini.
Penangkapan dan Uang Bukti
Dalam operasi tangkap tangan (OTT), KPK mengamankan uang senilai Rp 13 miliar yang diduga merupakan bagian dari fee 5% untuk Sahbirin. Uang tersebut terdiri dari:
- Rp 1 miliar untuk proyek lapangan sepak bola, kolam renang, dan gedung Samsat.
- Rp 12 miliar dan US$ 500 yang terkait dengan pekerjaan lainnya di Dinas PUPR Kalimantan Selatan.
Ini menjadi salah satu bukti kuat yang mendukung dugaan keterlibatan Sahbirin dalam praktik korupsi.
Tersangka Lain
Selain Sahbirin Noor, ada lima orang lainnya yang juga ditetapkan sebagai penerima suap:
- Ahmad Solhan (Kepala Dinas PUPR)
- Yulianti Erlynah (Kabid Cipta Karya)
- Ahmad (Pengurus Rumah Tahfidz)
- Agustya Febry Andrean (Plt. Kepala Bag. Rumah Tangga Gubernur)
Di sisi lain, terdapat dua orang pemberi suap, yaitu:
- Sugeng Wahyudi (YUD)
- Andi Susanto (AND)
Penetapan ini menunjukkan bahwa kasus ini melibatkan banyak pihak dan mencakup jaringan yang lebih luas dalam administrasi publik.
Proses Rekayasa
KPK juga menemukan adanya rekayasa dalam pengadaan barang/jasa di Dinas PUPR Kalimantan Selatan. Hal ini dilakukan untuk memenangkan pengusaha YUD dan AND melalui kebocoran harga dan kualifikasi. Proses ini jelas merupakan penyalahgunaan kekuasaan yang sangat merugikan kepentingan publik.
Penahanan Tersangka
KPK saat ini menahan enam tersangka di Rumah Tahanan Negara Cabang Rutan Klas I Jakarta Timur. Nurul Ghufron menambahkan, “Sampai dengan saat ini, penyidik masih terus berupaya mengamankan pihak-pihak lain yang bertanggung jawab terhadap peristiwa pidana ini.” Proses penahanan ini menandakan keseriusan KPK dalam menuntaskan kasus ini dan menjaga integritas pemerintahan.
Profil Sahbirin Noor
Sahbirin Noor lahir pada 12 November 1967 di Banjarmasin. Ia menikah dengan Raudatul Jannah dan memiliki tiga anak. Pendidikan awalnya di MI Budi Mulia, SMPN 10, dan SMAN 5 Banjarmasin, dilanjutkan dengan gelar S1 dari Uniska Banjarmasin dan S2 dari Universitas Putra Bangsa Surabaya. Karirnya dimulai sebagai birokrat sebelum terjun ke dunia politik, di mana ia terpilih sebagai Gubernur Kalsel pada 2016 dan terpilih kembali pada 2020.
Laporan Harta Kekayaan
Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang diupdate pada 28 Februari 2024, harta Sahbirin tercatat mencapai Rp 24,8 miliar. Harta tersebut terdiri dari:
- Properti senilai Rp 13,7 miliar (13 bidang tanah dan bangunan).
- Lima mobil senilai Rp 733 juta.
- Harta bergerak lainnya senilai Rp 2,3 miliar.
- Kas dan setara kas Rp 8,1 miliar.
Laporan harta kekayaan ini memberikan gambaran tentang potensi penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi yang mungkin terjadi di pemerintahan lokal.