PDIP kini membuka peluang besar untuk bergabung dalam kabinet Prabowo-Gibran. Hal ini disampaikan langsung oleh Puan Maharani, Ketua DPP PDIP, yang memberi sinyal bahwa kemungkinan partainya akan ikut andil dalam kabinet setelah pertemuan penting antara Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto berlangsung. Dalam keterangan resminya, Puan menyebut, “Pertemuan antara Ibu Mega dan Pak Prabowo akan membahas sinergi untuk membangun bangsa, bukan soal bagi-bagi kekuasaan.”
Dalam politik Indonesia, tidak ada istilah oposisi yang absolut. Ahmad Heryawan (Aher), Plh Presiden PKS, menyatakan bahwa posisi oposisi dalam sistem politik Indonesia sebenarnya tidak ada. “Sistem kita tidak mengenal oposisi, karena pengawasan politik ada di DPR, bukan dari partai oposisi,” kata Aher. Ia juga menegaskan bahwa PKS akan tetap berada di Koalisi Indonesia Maju (KIM Plus), meski kabinet Prabowo-Gibran nanti mungkin akan diisi oleh beberapa partai lain.
Puan Maharani memastikan, PDIP tidak menutup kemungkinan untuk menjadi bagian dari kabinet. Namun, keputusan finalnya akan ditentukan setelah pertemuan antara Megawati dan Prabowo terjadi. Meski begitu, beberapa pihak langsung mengaitkan pertemuan politik ini dengan bagi-bagi kursi kekuasaan. Namun, Said Abdullah, Ketua DPP PDIP, menegaskan bahwa ini bukan pertemuan transaksional. “Bukan transaksi politik, ini murni untuk kepentingan bangsa,” tegasnya.
Di sisi lain, Ahmad Heryawan menyatakan bahwa keputusan final soal kabinet berada di tangan Presiden Prabowo. Ini menunjukkan bahwa masih ada fleksibilitas dalam formasi kabinet yang akan datang, namun PKS tetap yakin posisinya di koalisi tidak akan terganggu oleh perubahan-perubahan yang terjadi.
Jika kita lihat lebih dalam, kabar tentang PDIP bergabung ke kabinet Prabowo-Gibran adalah hal yang cukup menarik dan strategis. Ini menandakan bahwa koalisi besar yang selama ini terpecah bisa saja bersatu demi kepentingan bangsa. Pertanyaannya, apakah dengan sinergi besar ini, pemerintahan akan lebih efektif atau justru sebaliknya, akan ada perpecahan di dalamnya? Mengingat sistem politik Indonesia tidak benar-benar mengenal oposisi seperti di negara lain, justru ini bisa menjadi kesempatan emas bagi seluruh partai untuk memperkuat bangsa tanpa harus ada yang “berseberangan.”
Namun, yang harus diwaspadai adalah bagaimana publik menerima hal ini. Jika pertemuan Megawati dan Prabowo diinterpretasikan sebagai transaksi politik, ini bisa mencederai kepercayaan publik.
Apakah nanti akan ada pergeseran kekuatan politik atau justru sinergi besar ini bisa membawa Indonesia ke arah yang lebih baik? Semua ini masih akan terjawab setelah pelantikan nanti. Yang pasti, kita perlu menjaga optimisme bahwa sinergi politik yang ada sekarang adalah demi kesejahteraan bangsa.