Prabowo Subianto, Presiden terpilih periode 2024-2029, punya rencana besar untuk merombak Kementerian Keuangan dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada Januari 2025. Perubahan ini bukan hanya perombakan kecil, tapi bakal bersifat besar-besaran. Burhanuddin Abdullah, Dewan Penasihat Presiden Terpilih Prabowo, sudah mengungkapkan hal ini dalam sebuah acara ekonomi. Perombakan ini bisa jadi langkah besar untuk memperbaiki tata kelola negara, tetapi di sisi lain, perubahan ini pasti menimbulkan reaksi dari berbagai pihak.
Burhanuddin menyebutkan dalam UOB Economic Outlook 2025, “Insyaallah akan ada Menteri Penerimaan Negara.” Artinya, akan terbentuk Badan Penerimaan Negara (BPN), yang akan mengambil alih tugas Direktorat Jenderal Pajak, Bea dan Cukai, serta Penerimaan Negara Bukan Pajak. Pembentukan badan baru ini tentunya bertujuan untuk memperkuat penerimaan negara, tetapi apakah efisiensinya akan langsung terasa?
Mengapa Perombakan di BUMN Begitu Penting?
Selain perubahan di Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN juga akan mengalami transformasi kelembagaan. Tujuannya jelas, meningkatkan kontribusi BUMN terhadap PDB Indonesia. Burhanuddin Abdullah bahkan optimis bahwa BUMN bisa berkontribusi sebesar 1 triliun dolar AS atau sekitar Rp15.400 triliun. “Tapi ya sumbangannya barangkali memang harus kita perbaiki tingkatkan dan harus ada transformasi bisnis transformasi struktural,” kata Burhanuddin.
Pernyataan ini menarik karena menunjukkan urgensi dari transformasi bisnis di BUMN. Namun, kita harus ingat bahwa perubahan besar seperti ini tidak mudah dan memerlukan waktu serta koordinasi yang luar biasa. Mengubah struktur BUMN yang sudah ada sejak lama pasti menimbulkan tantangan besar, baik dari segi sumber daya manusia maupun sistem yang sudah berjalan.
Penambahan Kementerian di Kabinet Prabowo-Gibran: Apakah Langkah Ini Tepat?
Rencana lain yang juga menjadi sorotan adalah penambahan kementerian di kabinet Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Kabinet mereka akan memiliki 44 kementerian, yang sudah diakomodasi oleh DPR melalui Pasal 51 Undang-Undang APBN 2025. Penambahan kementerian ini tentunya memerlukan anggaran yang signifikan, dan setiap kementerian baru harus mendapatkan persetujuan dari DPR terkait alokasi anggaran tersebut.
Pertanyaan kritis yang muncul adalah, apakah penambahan jumlah kementerian ini akan benar-benar efektif dalam mempercepat program-program pemerintah? Penambahan ini tentu memperlihatkan ambisi Prabowo untuk menata ulang pemerintahannya, tetapi harus diingat bahwa terlalu banyak kementerian juga bisa menimbulkan inefisiensi jika tidak dikelola dengan baik.
Sebuah Perombakan yang Harus Kita Amati dengan Cermat
Perombakan besar-besaran ini jelas merupakan langkah yang ambisius dari Prabowo. Pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) adalah langkah yang inovatif, tetapi ini juga mengandung risiko besar. Jika koordinasi antara lembaga tidak berjalan lancar, bisa jadi malah menimbulkan kebingungan dalam penerapan kebijakan pajak dan bea cukai.
Transformasi di BUMN juga harus diawasi dengan baik. Target kontribusi sebesar Rp15.400 triliun memang luar biasa, tapi apakah ini realistis tanpa transformasi bisnis yang nyata? Masalah yang selama ini muncul di BUMN seperti korupsi dan manajemen yang buruk perlu diatasi lebih dulu sebelum kontribusi sebesar itu bisa tercapai.
Penambahan kementerian di kabinet Prabowo-Gibran juga menimbulkan pertanyaan. Memiliki lebih banyak kementerian bisa jadi memberikan ruang bagi lebih banyak program, tetapi bisa juga menambah birokrasi yang tidak perlu. Efisiensi dan efektivitas harus tetap menjadi prioritas utama.