Tragedi 1998 terus menjadi salah satu peristiwa paling kontroversial dalam sejarah Indonesia, terutama mengenai status hukumnya. Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD kembali menegaskan bahwa peristiwa tersebut telah dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Pernyataan ini menanggapi komentar dari Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Permasyarakatan Yusril Ihza Mahendra yang mengatakan bahwa Tragedi 1998 tidak termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat.
Mahfud MD dengan tegas menyatakan bahwa Komnas HAM, sebagai lembaga yang berwenang, telah menetapkan Tragedi 1998 sebagai pelanggaran HAM berat. Menurut Mahfud, pengakuan atas tragedi tersebut tidak hanya sekadar retorika, tetapi sudah ditetapkan berdasarkan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia.
“(Tragedi 1998) Sudah ditetapkan oleh Komnas HAM (sebagai pelanggaran HAM berat). Diakui saja, tapi kita tidak pernah minta maaf kepada siapapun,” ujar Mahfud saat ditemui di Gedung Kementerian Pertahanan, Jakarta.
Mahfud juga menekankan bahwa hanya Komnas HAM yang memiliki kewenangan untuk menyatakan suatu peristiwa sebagai pelanggaran HAM berat. Menurut Undang-Undang, kementerian atau lembaga lain tidak berhak memberikan penilaian terhadap status hukum peristiwa tersebut.
Pernyataan ini memberikan kejelasan bahwa penilaian terhadap status hukum Tragedi 1998 harus mengacu pada apa yang sudah ditetapkan oleh Komnas HAM. Jika ada ketidakakuratan dalam penilaian tersebut, maka yang memiliki hak untuk melakukan koreksi hanyalah Komnas HAM.
Mahfud kemudian menceritakan bagaimana selama masa jabatannya sebagai Menko Polhukam, dirinya selalu mengikuti keputusan yang ditetapkan oleh Komnas HAM. Ia menjelaskan bahwa terdapat 12 peristiwa besar yang telah dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat, termasuk Tragedi 1998.
Keputusan tersebut, lanjut Mahfud, tidak hanya diakui oleh pemerintah Indonesia, tetapi juga mendapatkan pengakuan internasional, termasuk dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Presiden Joko Widodo juga telah mengakui 12 peristiwa tersebut sebagai pelanggaran HAM berat, dan Komnas HAM merupakan satu-satunya lembaga yang diberi kewenangan untuk menentukan status hukum atas peristiwa-peristiwa tersebut.
Tragedi 1998 merupakan salah satu dari 12 peristiwa besar yang diakui oleh Presiden Jokowi sebagai pelanggaran HAM berat. Kekerasan, kerusuhan, dan penghilangan paksa yang terjadi pada masa tersebut telah meninggalkan luka mendalam dalam sejarah Indonesia. Hingga saat ini, peristiwa tersebut masih menjadi topik perdebatan yang intens, terutama mengenai tanggung jawab hukum dan keadilan bagi para korban.
Mahfud menegaskan bahwa dirinya hanya mengikuti peraturan yang sudah ditetapkan oleh Komnas HAM. Ia menambahkan bahwa pengakuan terhadap pelanggaran HAM berat ini tidak hanya penting bagi keadilan bagi para korban, tetapi juga sebagai bagian dari komitmen bangsa untuk tidak mengulangi kesalahan di masa lalu.