Badan Legislasi (Baleg) DPR RI baru-baru ini memutuskan untuk menghapus Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pelarangan Perdagangan Daging Anjing dan Kucing.
Keputusan ini menuai berbagai tanggapan, baik dari pendukung hak-hak hewan maupun masyarakat yang memandang isu ini dari sudut keberagaman budaya.
Anggota Baleg DPR RI dari Fraksi Golkar, Firman Soebagyo, menjelaskan bahwa usulan RUU ini dinilai kurang relevan dan tidak layak untuk dibahas lebih lanjut.
Usulan tersebut awalnya diinisiasi oleh Yayasan JAAN Domestic Indonesia.
Namun, menurut Firman, Indonesia sebagai negara yang kaya akan keberagaman budaya harus mempertimbangkan tradisi tertentu dalam masyarakat.
Firman menegaskan bahwa konsumsi daging anjing, meskipun tidak lazim di beberapa daerah, merupakan bagian dari budaya komunitas tertentu, seperti masyarakat Batak di Medan.
“Ini contoh, saya bukan pemakan anjing, tapi saya tahu di Tanah Air ini dengan keanekaragaman, kebhinekaan kita, ada daerah tertentu yang mengkonsumsi anjing, ini RUU Kesejahteraan Hewan kemudian RUU tentang larangan Kekerasan terhadap Hewan Domestik dan Pelarangan Perdagangan Daging Anjing dan Kucing, ini ndak perlu lah ini,” ujar Firman.
Dalam pandangannya, Firman juga mengingatkan pentingnya DPR untuk memprioritaskan pembahasan RUU yang dapat mendukung kinerja pemerintah dibandingkan dengan mengakomodasi usulan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau non-governmental organizations (NGO).
Ia menilai bahwa tidak semua usulan dari NGO memiliki nilai signifikan dalam konteks politik maupun elektoral.
“Jadi kayak gini DPR jangan seolah-olah entertain NGO yang kadang-kadang tak rasional, kita harus berani di depan NGO, enggak semuanya baik, NGO ini kepentingan siapa kita tahu, NGO ndak ada value-nya buat parpol di elektoral,” tambahnya.
Sebagai hasil dari rapat panja, nomenklatur RUU ini diubah menjadi RUU tentang Pelarangan Kekerasan terhadap Hewan Domestik, menghilangkan bagian yang secara spesifik melarang perdagangan daging anjing dan kucing.
Meskipun begitu, perdagangan daging anjing tetap menjadi isu sensitif.
Risiko penularan rabies dan rendahnya standar sanitasi sering menjadi sorotan utama.
Para aktivis hak hewan menyoroti bahwa praktik ini tidak hanya membahayakan kesehatan manusia tetapi juga melanggar prinsip kesejahteraan hewan.
Statistik menunjukkan bahwa sekitar 5% populasi di Indonesia mengonsumsi daging anjing, angka yang cukup signifikan meskipun bukan mayoritas.
Di tingkat global, diperkirakan 27 juta anjing dibunuh setiap tahun untuk konsumsi dagingnya, dengan praktik ini paling umum terjadi di negara-negara Asia seperti China, Korea Selatan, Vietnam, hingga Thailand.