Bawaslu RI mencatat adanya 130 dugaan kasus politik uang yang terjadi selama masa tenang Pilkada Serentak 2024.
Temuan ini berasal dari hasil pengawasan intensif jajaran Bawaslu serta laporan masyarakat yang turut berkontribusi dalam mengungkap pelanggaran ini.
Puadi, anggota Bawaslu yang membidangi Penanganan Pelanggaran, Data, dan Informasi, mengungkapkan bahwa laporan tersebut tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
Saat memberikan keterangan di Kantor Bawaslu RI, Jakarta Pusat, Rabu (27/11/2024), Puadi mengungkapkan pihaknya kini sudah menerima 130 laporan dugaan politik uang di masa tenang Pilkada 2024.
Dari total laporan yang diterima, 121 kasus terjadi pada masa tenang, sementara 9 lainnya teridentifikasi saat hari pemungutan suara.
Lebih lanjut, rincian dugaan politik uang tersebut adalah sebagai berikut:
- Masa Tenang: 71 laporan terkait peristiwa pembagian uang dan 50 laporan mengenai potensi pembagian uang.
- Hari Pemungutan Suara: 8 laporan peristiwa pembagian uang dan 1 laporan potensi pembagian uang.
Puadi menegaskan bahwa seluruh laporan ini akan dikaji secara mendalam.
“Bawaslu akan melakukan kajian awal di 130 dugaan pelanggaran politik uang di masa tenang dan pemungutan suara pemilihan 2024,” tambahnya.
Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, juga memberikan keterangan terkait langkah yang akan diambil terhadap laporan tersebut.
Ia menjelaskan bahwa laporan resmi yang diajukan masyarakat akan menjalani kajian awal.
Jika ditemukan bukti yang cukup, kasus tersebut akan ditindaklanjuti melalui kajian hukum dalam waktu lima hari kalender.
“Sampai saat ini, belum kita bisa simpulkan, karena datanya masih bergulir, dan kemungkinan kalau misalnya ada hal-hal yang tidak bisa terbukti dalam pengadilan, apakah politik uang itu terjadi atau tidak, secara hukumnya tidak terjadi,” jelas Bagja.
Ia juga menambahkan bahwa proses hukum membutuhkan bukti kuat untuk membuktikan atau menolak tuduhan politik uang.
Rahmat Bagja mengakui sulitnya membandingkan kasus politik uang dalam Pilkada Serentak 2024 dengan Pilkada sebelumnya.
Hal ini disebabkan oleh kebutuhan data yang lebih komprehensif serta proses hukum yang tidak selalu mampu mengungkap semua fakta.
“Ada hal yang tidak terungkap, namun ada di pengadilan diajukan, ada alat buktinya, namun tidak cukup dalam membuktikan sesuatu, itu juga perlu diperhitungkan sebagai apakah terjadi atau tidak,” paparnya.
Ia juga menekankan pentingnya kesamaan persepsi mengenai sejauh mana politik uang dapat dikatakan masif.