Kasus seorang guru honorer di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, bernama Supriyani, memicu perdebatan setelah ia ditetapkan sebagai tersangka dugaan penganiayaan terhadap seorang siswa SD. Kasus ini mencuat ke publik dan menjadi perhatian setelah serangkaian mediasi gagal mencapai kesepakatan. Namun, banyak yang mempertanyakan apakah ini murni kasus kekerasan atau ada unsur kriminalisasi.
Supriyani, seorang guru honorer di SD Negeri Baito, dilaporkan oleh seorang polisi bernama Aipda Wibowo Hasyim. Laporan ini bermula setelah istri Wibowo, Nurfitriana, melihat adanya bekas luka memar pada paha belakang anaknya, D, yang masih berusia 6 tahun dan bersekolah di kelas satu SD. Anak tersebut awalnya mengaku bahwa luka tersebut terjadi akibat jatuh di sawah bersama ayahnya. Namun, ketika ditanya lebih lanjut, D mengubah keterangannya dan menyebut bahwa luka tersebut akibat dipukul oleh gurunya, Supriyani.
Mengetahui hal ini, Aipda Wibowo langsung melaporkan Supriyani ke pihak Polsek Baito pada 26 April. Setelah laporan tersebut, dilakukan serangkaian mediasi yang melibatkan pihak pemerintah desa setempat. Namun, lima kali mediasi yang dilakukan tidak membuahkan hasil kesepakatan damai.
Kapolres Konawe Selatan, AKBP Febry Syam, menyampaikan bahwa mediasi telah dilakukan beberapa kali namun tidak menghasilkan solusi. Karena itu, kasus ini dinaikkan ke tahap penyidikan, dan Supriyani ditetapkan sebagai tersangka dugaan penganiayaan anak di bawah umur. Pada 16 Oktober, berkas perkara dinyatakan lengkap (P-21) dan kasusnya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Andoolo. Supriyani kemudian ditahan, meski banyak pihak yang mempertanyakan keabsahan proses hukum ini.
Kasus ini menjadi sorotan publik setelah viralnya kampanye “Save Ibu Supriyani” di media sosial. Kampanye tersebut menyebutkan bahwa ada dugaan penyalahgunaan wewenang oleh pihak keluarga korban, yang juga merupakan seorang polisi. Menurut informasi yang beredar, pihak keluarga korban diduga meminta uang damai sebesar Rp50 juta agar kasus ini dihentikan. Namun, Supriyani menolak permintaan tersebut karena merasa tidak melakukan tindakan kekerasan terhadap siswanya.
Ketua PGRI Sulawesi Tenggara, Abdul Halim Momo, juga angkat bicara mengenai kasus ini. Ia menyebut bahwa Supriyani sempat diminta mundur dari posisinya sebagai guru honorer oleh keluarga korban sebagai syarat untuk mencapai kesepakatan damai. Abdul Halim menyatakan bahwa Supriyani hanya honorer dengan kondisi ekonomi yang sulit, dan permintaan uang damai Rp50 juta dinilai sangat memberatkan.
“Hasil pertemuan dengan Ibu Supriyani, yang dimediasi Pak Desa, siap bersaksi, dia (Pak Desa) akan damaikan persoalan ini. Pertama dia (Supriyani) harus membayar uang Rp 50 juta, kedua dia harus mundur sebagai guru. Ini ada apa? Dia diminta bersurat ke Kadis untuk mundur. Padahal dia tidak melakukan apa-apa,” kata Abdul Halim. “Yang kasihan, dia hanya honorer, suaminya jualan biasa, kalau dimintai Rp50 juta saya tidak habis pikir. Saya tidak fitnah, ada kepala desa, ada yang bersangkutan, dia dimintai Rp 50 juta. Jadi ada unsur kriminalisasi.”
Menurut keterangan pihak sekolah yang juga viral di aplikasi pesan singkat, Supriyani hanya menegur siswanya dan tidak pernah melakukan pemukulan. Pihak sekolah bahkan mengunjungi rumah keluarga korban untuk meminta maaf agar masalah ini tidak berlarut-larut. Namun, keluarga korban tetap melanjutkan laporan ke polisi dan menggunakan permintaan maaf tersebut sebagai pengakuan atas kesalahan.
Melihat adanya indikasi penyalahgunaan wewenang, PGRI Sulawesi Tenggara berharap agar Propam Polda Sultra turun tangan dan mengungkap fakta sebenarnya dalam kasus ini. Mereka menduga bahwa ada tekanan dari pihak keluarga korban yang membuat kasus ini semakin rumit.
“Pihak Propam juga harus turun meminta (keterangan). Saya menduga ada penyalahgunaan kewenangan. Tadi berulang kali Bu Supriyani menyuarakan dari pihak Pak Wibowo (permintaan uang Rp 50 juta) bukan dari Pak Desa,” tambah Abdul Halim.
Penetapan Supriyani sebagai tersangka menimbulkan pertanyaan besar. Apakah ini murni kasus penganiayaan terhadap anak di bawah umur, ataukah ada unsur kriminalisasi terhadap seorang guru honorer dengan kondisi ekonomi yang sulit? Masyarakat dan berbagai pihak kini menantikan kejelasan dari pihak berwenang, terutama Propam Polda Sultra, untuk mengungkap kebenaran di balik kasus ini.
Supriyani kini masih ditahan, sementara proses hukum terus berjalan. Kasus ini membuka mata publik mengenai bagaimana posisi seorang guru honorer yang rentan terhadap tekanan, baik dari segi ekonomi maupun sosial. Banyak yang berharap agar kasus ini dapat diusut dengan adil tanpa ada intervensi dari pihak manapun, sehingga kebenaran dapat terungkap dan keadilan bisa ditegakkan.