Pada hari Kamis (19/9), Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan revisi Undang-Undang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Pengesahan ini dilakukan dalam rapat paripurna ke-VII, dengan beberapa poin penting mengalami perubahan yang signifikan, termasuk posisi ketua yang bisa bergantian dan jumlah anggota Wantimpres yang tidak terbatas.
Perubahan ini menarik perhatian publik, khususnya terkait fleksibilitas jabatan ketua Wantimpres yang kini bisa dirotasi antar anggota, serta tidak ada lagi batasan jumlah anggota yang dapat menjabat. Ini tentu menimbulkan pertanyaan, apakah langkah ini akan memperkuat peran Wantimpres, atau justru membuka ruang untuk pengaruh politik yang lebih besar?
Ketika ditanya soal kemungkinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi bagian dari Wantimpres di pemerintahan mendatang, khususnya jika Prabowo-Gibran menjadi pasangan presiden dan wakil presiden terpilih, Jokowi dengan tegas menyatakan, “Urusan itu urusan pemerintahan baru.” Pernyataan ini jelas menggambarkan bahwa Jokowi tidak ingin berspekulasi atau memberikan komentar yang dapat mempengaruhi dinamika politik saat ini.
Selain itu, Jokowi menolak untuk memberikan tanggapan lebih lanjut terkait revisi ini, “Saya enggak mau komentar,” tegasnya. Sikap diam Jokowi mungkin dapat dipahami sebagai langkah menjaga netralitas di tengah suasana politik yang sedang hangat.
Menariknya, ketika ditanya apakah ada pembahasan soal revisi UU Wantimpres saat Jokowi bertemu dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jokowi dengan singkat menampik, “Ndak, ndak, ndak.” Hal ini seolah ingin menegaskan bahwa pertemuan mereka tidak ada kaitannya dengan pembahasan UU tersebut.
Revisi ini juga membawa perubahan besar terkait syarat anggota Wantimpres. Ketua Badan Legislatif, Wihadi Wiyanto, menyampaikan bahwa sebelumnya syarat yang mengizinkan terpidana dengan hukuman di bawah lima tahun untuk menjadi anggota Wantimpres kini diubah menjadi “tidak pernah dijatuhi pidana.” Ini tentunya memperketat persyaratan dan dapat meningkatkan kredibilitas institusi Wantimpres ke depannya.
Pada akhir rapat, pimpinan sidang Lodewijk F Paulus meminta persetujuan fraksi-fraksi terkait perubahan Pasal 8G. Setelah seluruh peserta rapat menyetujui, palu diketuk sebagai tanda sahnya revisi UU Wantimpres.
Pengesahan revisi UU Wantimpres ini jelas membawa dampak besar bagi struktur kelembagaan Wantimpres. Meski ada yang memandang perubahan ini sebagai langkah untuk memperkuat peran Wantimpres, kita juga perlu berpikir kritis—apakah tidak adanya batasan jumlah anggota dan perubahan sistem rotasi jabatan ketua akan memperkuat kinerja Wantimpres atau justru membuka ruang lebih besar bagi kepentingan politik tertentu? Perubahan syarat terkait terpidana memang langkah positif untuk menjaga integritas, namun kita harus tetap memantau bagaimana implementasi dari revisi ini berjalan. Sebagai masyarakat, kita harus kritis terhadap potensi dampak perubahan ini dalam konteks kepemimpinan pemerintahan mendatang.