Tupperware, merek dagang terkenal dari Amerika Serikat yang dikenal memproduksi wadah penyimpanan makanan dan minuman, telah berhasil menghindari kebangkrutan setelah pengadilan mengizinkan penjualan aset perusahaan kepada para pemberi pinjaman.
Perusahaan ini mengambil langkah penting dengan mengajukan perlindungan Bab 11 kepada Pengadilan Kepailitan AS pada September 2024.
Langkah ini bertujuan untuk merestrukturisasi kondisi keuangan perusahaan yang tengah menghadapi krisis.
Dalam sidang di Wilmington, Delaware, pada Selasa (29/10/24), Hakim Kepailitan AS Brendan Shannon menyetujui rencana penjualan aset Tupperware.
Keputusan ini dianggap langkah terbaik untuk mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan.
Proses penjualan aset melibatkan kreditur utama, yaitu Stonehill Capital Management Partners dan Alden Global Capital.
Kedua perusahaan ini sebelumnya telah membeli utang Tupperware dengan potongan harga yang signifikan pada musim panas lalu.
Sebagai bagian dari perjanjian, kreditur setuju memberikan bantuan keuangan berupa dana tunai senilai 23,5 juta dolar AS dan keringanan utang lebih dari 63 juta dolar AS.
Penjualan ini meliputi merek dagang Tupperware dan aset di beberapa pasar utama, termasuk Amerika Serikat, Kanada, Meksiko, Brasil, Tiongkok, Korea, India, dan Malaysia.
Namun, operasi di beberapa negara lain akan dihentikan seiring dengan penyesuaian strategi perusahaan.
Laurie Ann Goldman, CEO Tupperware, menyatakan bahwa perusahaan akan mengadopsi model bisnis baru yang berfokus pada teknologi digital dan mengurangi ketergantungan pada aset fisik.
“Kami akan mengutamakan pendekatan berteknologi tinggi untuk menjaga relevansi Tupperware di pasar,” ungkapnya.
Sebelum restrukturisasi ini, Tupperware mengalami kesulitan finansial serius yang membuatnya mencari pembeli selama beberapa bulan.
Namun, perusahaan tidak berhasil menarik investor yang dapat menanggung beban utang sebesar 818 juta dolar AS, atau sekitar Rp12,9 triliun.
Langkah mengajukan perlindungan Bab 11 ini memberi kesempatan bagi perusahaan untuk menyusun rencana pembayaran utang sambil menjaga operasional tetap berjalan.
Kitab Undang-Undang Kepailitan AS mengizinkan perusahaan debitur menyusun rencana reorganisasi demi menjaga kelangsungan usaha dan melunasi utang dalam jangka waktu tertentu.
Pada awal masa kebangkrutan, kreditur sempat menahan akses Tupperware ke dana tunai, yang memperparah kondisi perusahaan.
Meski sempat ada penolakan terhadap rencana penjualan aset ke pasar terbuka, kesepakatan akhirnya tercapai setelah diskusi panjang.
Kreditur lebih memilih klaim aset sebagai jaminan utang, tetapi solusi yang disepakati membuka jalan bagi kelangsungan Tupperware.
Melalui penjualan aset ini, Tupperware kini memiliki kesempatan untuk menjalani restrukturisasi keuangan yang lebih stabil dan merancang model bisnis yang adaptif di era digital.