Wacana penghapusan Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK memicu kontroversi besar. Beberapa pihak menilai langkah ini bisa melemahkan pemberantasan korupsi, sementara lainnya menganggap OTT hanya memboroskan anggaran negara.
Kritik Pedas Ray Rangkuti
Ray Rangkuti, Direktur Eksekutif LIMA, menyebut penghapusan OTT sama saja dengan membubarkan KPK.
“Itu (menghapus OTT) sekalian saja lembaga ini ditiadakan,” ujarnya.
Ray juga mengkritik kepemimpinan KPK yang menurutnya tidak netral, karena mayoritas pimpinannya berlatar belakang aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, atau hakim. Ia menilai ini menciptakan konflik kepentingan dalam pemberantasan korupsi.
“Buat apa kewenangan dan orang yang sama dibuat dalam lembaga yang berbeda? Pemborosan dan membuat inefisiensi,” tegasnya.
Ia bahkan menyebut KPK seperti “jeruk makan jeruk,” mengingat pimpinannya berasal dari institusi yang seharusnya mereka awasi.
“KPK malah kini dipimpin alumni dua institusi ini. Ini sih jeruk makan jeruk,” kritiknya tajam.
Sebagai solusi, Ray mengusulkan perombakan tata kelola KPK, seperti:
- Larangan aparat aktif menjadi pimpinan KPK.
- Aparat hanya boleh menjabat di KPK minimal lima tahun setelah pensiun.
- Revisi UU KPK untuk mengembalikan aturan lama.
“Rombak total lagi, buat aturan bahwa perwira dan jaksa tidak diperkenan masuk sebagai unsur pimpinan KPK,” tegas Ray.
Usul Kontroversial Johanis Tanak
Johanis Tanak, calon pimpinan KPK, mengusulkan penghapusan OTT jika terpilih. Ia berpendapat bahwa OTT tidak sesuai dengan KUHAP.
“Seandainya saya bisa jadi, mohon izin, jadi ketua, saya akan tutup, close, karena itu (OTT KPK) tidak sesuai dengan pengertian yang dimaksud dalam KUHAP,” jelasnya.
Namun, Johanis mengaku tidak bisa menghentikan OTT selama pimpinan lainnya tetap mempertahankannya sebagai tradisi.
“Apakah ini tradisi bisa diterapkan, ya saya juga nggak bisa juga saya menantang,” ungkapnya.
Dukungan dari DPR
Anggota Komisi III DPR, Hasbiallah Ilyas dari Fraksi PKB, juga mendukung wacana penghapusan OTT. Ia menyebut OTT sebagai cara yang kampungan dan merugikan negara.
“Saya setuju dengan kalau OTT itu hanya kampungan, sebab OTT itu hanya merugikan uang negara,” ujarnya.
Menurutnya, proses OTT yang memakan waktu hingga setahun justru memboroskan anggaran negara.
“Untuk mengejar OTT itu satu tahun, berapa banyak uang kita yang harus habis,” katanya.
Hasbiallah juga menilai OTT tidak efisien karena uang negara sering hilang sebelum pelaku tertangkap.
“OTT satu tahun, setelah itu uang negara hilang dulu baru ditangkap,” kritiknya.
Perdebatan Terus Bergulir
Wacana penghapusan OTT KPK jelas membelah opini publik dan pejabat. Di satu sisi, penghapusan OTT dianggap melemahkan pemberantasan korupsi. Di sisi lain, beberapa pihak menyebut OTT tidak efisien dan memboroskan anggaran.
Apakah ini akan menjadi akhir dari tradisi OTT KPK, atau justru mendorong pembaruan besar dalam sistem pemberantasan korupsi di Indonesia? Kita tunggu perkembangan berikutnya.