Khabar – Pemerintah baru-baru ini mengusulkan program pensiun tambahan yang bersifat wajib bagi pekerja. Rencana ini diharapkan memberikan jaminan hari tua yang lebih baik. Namun, apakah program ini benar-benar solusi yang diharapkan, atau justru menjadi beban baru bagi para pekerja di tengah kondisi ekonomi yang sulit?
Poin penting dari program baru ini adalah akan adanya pemotongan gaji pekerja untuk iuran pensiun tambahan. Meskipun tujuannya baik, banyak pihak mempertanyakan apakah saat ini adalah waktu yang tepat untuk menambah beban finansial pekerja, terutama ketika harga kebutuhan pokok terus melonjak.
Penolakan dari DPR-RI: Pekerja Sudah Terbebani
Rencana ini mendapatkan kritik keras dari anggota Komisi VI DPR-RI, Rieke Diah Pitaloka. Rieke menyampaikan bahwa program ini akan semakin membebani pekerja di tengah kondisi ekonomi yang sulit. “Fakta membuktikan adanya kerugian dari dana pensiun yang dimobilisasi oleh pemerintah, khususnya BUMN,” kata Rieke dalam Rapat Paripurna di Gedung DPR-RI. Pernyataan ini merujuk pada beberapa masalah yang telah terjadi dalam pengelolaan dana pensiun oleh pemerintah, seperti kasus Asabri, Jiwasraya, dan Taspen.
Rieke juga menyoroti bahwa saat ini pekerja sudah membayar iuran pensiun sebesar 4 persen dari gaji mereka, sementara pemberi kerja menyumbang antara 10,24 persen hingga 11,74 persen untuk program jaminan hari tua. Potongan sebesar itu dinilai sudah sangat tinggi, dan menambah program baru ini dianggap akan semakin menekan pekerja.
Bagaimana Dampaknya Bagi Pekerja UMR?
Mari kita lihat contoh pekerja UMR di Jakarta yang menerima gaji sebesar Rp5.067.381 per bulan. Setelah dipotong berbagai iuran wajib seperti BPJS Kesehatan, Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Pensiun, pekerja hanya menerima gaji bersih sebesar Rp4.843.381. Potongan iuran saja mencapai Rp224.000. Selain itu, perusahaan juga membayar iuran tambahan untuk jaminan lainnya, yang totalnya mencapai Rp639.564 per pekerja. Jika program pensiun wajib ini diberlakukan, otomatis jumlah potongan akan bertambah, mengurangi pendapatan bersih yang diterima pekerja.
Kritik terhadap Program Pensiun yang Ada
Rieke Diah Pitaloka mengkritik keras pengelolaan dana pensiun yang dilakukan pemerintah selama ini. Beberapa kasus besar seperti Asabri, Jiwasraya, dan Taspen menjadi sorotan. Rieke menegaskan, “Saat ini potongan buat pekerja dan pemberi kerja dalam skema jaminan sudah sangat tinggi.” Pernyataan ini menggarisbawahi adanya kekhawatiran bahwa program pensiun yang ada belum memberikan perlindungan yang optimal, bahkan justru menimbulkan kerugian.
Apakah Program Baru Ini Solusi yang Dibutuhkan?
Sebenarnya, program pensiun yang lebih baik dan aman untuk masa tua adalah hal yang dibutuhkan oleh setiap pekerja. Namun, dengan kondisi saat ini, di mana potongan gaji untuk berbagai iuran sudah cukup besar, penerapan program wajib baru ini perlu dipertimbangkan dengan lebih matang. Jika pemerintah ingin menambah beban iuran, harus dipastikan bahwa dana tersebut dikelola dengan benar dan transparan, serta tidak mengulangi kesalahan pengelolaan dana pensiun sebelumnya.
Haruskah Kita Menolak atau Mengkritisi dengan Solusi?
Penolakan terhadap program pensiun wajib ini bukanlah sekadar tentang menolak beban tambahan. Ini lebih kepada bagaimana program ini dikelola dan apa jaminan bahwa dana pensiun benar-benar digunakan sesuai dengan tujuannya. Dalam konteks ekonomi yang semakin sulit, tidak bijak jika kita menambah beban pekerja tanpa adanya reformasi nyata dalam pengelolaan dana pensiun.
Sebaliknya, kita perlu mendesak adanya transparansi dan audit yang lebih ketat terhadap dana pensiun yang ada. Jika pemerintah ingin meluncurkan program baru, sebaiknya dimulai dengan perbaikan sistem yang sudah ada terlebih dahulu. Reformasi dana pensiun yang ada dapat menjadi langkah pertama yang lebih tepat daripada sekadar menambah program baru.