Kesiapan militer Eropa kini dalam sorotan, terutama setelah dukungan besar-besaran untuk Ukraina membuat stok persenjataan mereka menipis. Banyak negara Eropa saat ini tidak siap menghadapi konflik militer skala besar yang berkepanjangan. Sementara itu, produksi persenjataan baru dan amunisi berjalan lambat, menciptakan kerentanan serius bagi keamanan di masa depan.
Stok Senjata Eropa Menipis
Krisis ini semakin terlihat jelas ketika Inggris hanya memiliki sekitar 150 tank Challenger 2 yang siap digunakan, dengan tambahan beberapa pucuk artileri jarak jauh. Sementara itu, Prancis memiliki kurang dari 90 kendaraan artileri berat yang siap tempur, jumlah yang sebanding dengan yang hilang oleh Rusia setiap beberapa bulan di medan perang Ukraina. Keadaan lebih memprihatinkan terjadi di Denmark yang saat ini tidak memiliki artileri berat, kapal selam, atau sistem pertahanan udara. Jerman pun tak jauh berbeda, dengan amunisi yang cukup hanya untuk beberapa hari pertempuran intens.
“Sebagian besar Eropa saat ini tidak siap untuk menghadapi konflik militer berkepanjangan,” ungkap seorang analis militer.
Dukungan militer Eropa terhadap Ukraina memang memberikan dampak signifikan pada stok persenjataan mereka. Sayangnya, kemampuan untuk memproduksi ulang senjata dan amunisi tidak cukup cepat untuk mengimbangi kebutuhan.
Amerika Serikat Mengurangi Peran, Eropa Panik
Sementara Eropa hidup di bawah payung keamanan Amerika Serikat selama beberapa dekade, kebijakan Amerika kini berubah lebih ke arah isolasionisme. Terlebih lagi, jika Donald Trump terpilih kembali sebagai Presiden AS, kemungkinan besar dukungan Amerika Serikat terhadap Ukraina akan berkurang. Dalam panggilan telepon dengan Presiden Ukraina, Trump menyatakan bahwa ia akan membawa perdamaian jika terpilih lagi, namun kondisi ini kemungkinan besar akan menguntungkan Rusia.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran besar di Brussel, di mana para pembuat kebijakan Eropa mulai mempertimbangkan cara memperkuat industri pertahanan mereka sendiri.
Roadmap Ursula von der Leyen untuk Pertahanan Eropa
Untuk menanggapi ancaman yang kian nyata, Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, telah merancang roadmap pertama Eropa untuk membangun kompleks industri militer. Rencana ini bertujuan untuk mengisi kembali persenjataan negara-negara anggota dan meningkatkan produksi industri pertahanan jangka panjang. Dalam hal ini, sebagian kebijakan yang diusulkan diambil langsung dari pendekatan Amerika, di mana kepentingan militer, politik, dan bisnis menyatu menjadi satu.
Di Amerika Serikat, perusahaan-perusahaan pertahanan swasta mendapatkan kontrak dari pemerintah untuk memproduksi peralatan militer. Untuk mendapatkan kontrak terbaik, perusahaan-perusahaan ini melobi pejabat politik agar mendukung pengeluaran pertahanan dan kebijakan keamanan. Sistem ini juga membantu menciptakan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi, sehingga memaksimalkan dukungan dari legislator yang ingin melindungi kepentingan perusahaan-perusahaan tersebut di wilayah mereka.
Tantangan di Depan: Fragmentasi Kebijakan di Eropa
Namun, Eropa masih jauh dari menyatukan kebijakan pertahanannya. Banyak negara di Eropa memiliki kepentingan nasional yang berbeda-beda dan sering terhalang oleh proteksionisme serta birokrasi. Hal ini mengakibatkan kerjasama di bidang militer yang kurang efektif di antara negara-negara anggota Uni Eropa.
Selama ini, hampir 78% pengeluaran pertahanan Eropa ditujukan untuk perusahaan di luar blok tersebut, dengan Amerika Serikat menyumbang 63% dari total pengeluaran tersebut. Ketergantungan yang tinggi pada teknologi dan properti intelektual luar negeri pada akhirnya menggerus daya saing teknologi dan pasar modal Eropa. Komisi Eropa kini berharap setidaknya 50% dari pengadaan senjata Eropa bisa dipenuhi oleh pemasok lokal pada akhir dekade ini.
Hambatan Besar: Dana dan Kepentingan Nasional
Meskipun sudah ada rencana besar, masalah utama yang menghambat adalah pendanaan. Program European Defense Investment Program (EDIP) baru memiliki anggaran sebesar €1,5 miliar hingga 2027, yang jauh dari cukup. Dibutuhkan sekitar €100 miliar untuk menciptakan basis industri militer yang serius. Masalah ini semakin diperumit oleh perbedaan kepentingan antara negara-negara anggota Uni Eropa yang lebih peduli pada prioritas nasional mereka masing-masing daripada pertahanan kolektif.
Sebagai contoh, negara-negara Baltik yang merasa ancaman dari Rusia lebih mendesak, cenderung mengutamakan pembelian senjata yang siap pakai, terlepas dari asalnya, daripada senjata yang diproduksi di dalam Eropa yang mungkin memerlukan waktu lebih lama.