Para pengunjuk rasa di luar Stasiun Kings Cross selama Unjuk Rasa 'Cukup Sudah' Menentang Tagihan Energi, pada 01 Oktober 2022 di London, Inggris. (Kate Green - Anadolu Agency)

Krisis Ekonomi London: Dari Mewah ke Miskin dalam 1 Dekade!

London, meski dikenal sebagai “Kota Mimpi” dan menjadi salah satu area urban terkaya di dunia, kini menghadapi tantangan besar dalam ekonomi yang semakin memprihatinkan. Dengan nilai ekonomi mencapai sekitar £58 miliar atau setara dengan $652 miliar, London seharusnya menjadi kebanggaan Inggris. Namun, kenyataannya, kekayaan yang dimiliki London tidak mencerminkan kondisi perekonomian Inggris secara keseluruhan.

Jika London beroperasi sebagai negara merdeka, ia akan menduduki peringkat sebagai ekonomi terbesar ke-22 di dunia, mengungguli Argentina dan Swedia. Meskipun begitu, proporsi ini mencerminkan ketidakadilan yang ada, di mana London dan Inggris Tenggara berkontribusi hampir setengah dari PDB Inggris, sementara hanya memiliki sepertiga dari populasi.

Krisis Ekonomi yang Berkelanjutan

Dalam dekade terakhir, Inggris mengalami masa-masa sulit. Pendapatan riil, yang merupakan pendapatan setelah pajak dan tunjangan, hampir tidak berubah, sementara biaya barang dan jasa terus meroket. Artinya, masyarakat kini dapat membeli lebih sedikit dengan pendapatan mereka. Tingkat produktivitas Inggris juga termasuk salah satu yang terendah di antara ekonomi besar lainnya.

Yang lebih parah, Inggris memiliki rekor tertinggi dalam jumlah orang yang mengalami tunawisma di dunia maju. Semua masalah ini berakar dari keputusan politik masa lalu. Sejak krisis keuangan 2008, Inggris mengalami dampak yang berkepanjangan akibat ketidakmampuan pemerintah untuk menangani masalah ini dengan baik.

Dari awalnya dianggap sebagai salah satu negara paling makmur, kini Inggris terjebak dalam tantangan yang membuatnya lebih rentan. Geopolitik yang rumit seperti Brexit dan perang di Ukraina telah meninggalkan Inggris dengan utang yang sangat besar.

Namun, penyebab utama dari semua ini kembali ke tahun 2008, ketika krisis keuangan melanda. Alih-alih berinvestasi dalam kebijakan sosial dan fiskal, pemerintah memilih langkah-langkah penghematan yang berdampak langsung pada kehidupan masyarakat.

Sebagaimana diungkapkan, “Pemerintah memprioritaskan kepentingan korporasi di atas segalanya,” tanpa memberikan perhatian yang cukup terhadap kesejahteraan rakyat biasa.

Dampak Jangka Panjang pada Pendapatan dan Kualitas Hidup

Real household income, atau pendapatan rumah tangga riil, menjadi penentu utama aktivitas ekonomi. Meningkatnya pendapatan mendorong pengeluaran konsumen dan memperbaiki standar hidup. Namun, Inggris mengalami penurunan yang signifikan dalam hal ini.

Saat ini, rata-rata pendapatan rumah tangga Inggris tertinggal 20% di belakang Norwegia dan 16% di belakang Amerika Serikat. Di sinilah krisis menjadi semakin nyata; masyarakat kelas menengah merasakan dampak penurunan standar hidup ini.

Ironisnya, sebelum krisis 2008, Inggris merupakan salah satu negara dengan produktivitas terbaik, namun kini berada di posisi kedua terendah di antara negara G7. Pendapatan produktivitas per kapita merosot setelah krisis tersebut, dan kini produktivitas Inggris sangat tergantung pada sektor-sektor tertentu, seperti teknologi.

Pemerintah harusnya berinvestasi untuk meningkatkan produktivitas, tetapi sayangnya, perhatian lebih diberikan kepada kepentingan jangka pendek yang tidak berkelanjutan.

Ketidakpastian Brexit dan Krisis Energi

Krisis Brexit memperburuk keadaan dengan mengurangi investasi asing sebesar 25% antara 2016 hingga 2021. Belum lagi, ketika pandemi COVID-19 melanda, pemerintah mengeluarkan dana tambahan yang sangat besar, mencapai £280 miliar, untuk mendukung perekonomian.

Namun, ini justru menambah utang yang harus ditanggung oleh generasi mendatang. Ketika Inggris mengalami lonjakan harga energi akibat perang di Ukraina, pemerintah kembali harus turun tangan dengan memberikan dukungan finansial yang sangat besar.

Peningkatan suku bunga yang direspons oleh bank sentral memperburuk situasi bagi masyarakat. Kenaikan cicilan hipotek secara mendalam menggigit, membuat beban hidup semakin berat. Utang yang terus membengkak mengurangi anggaran untuk pelayanan publik, yang pada gilirannya mengakibatkan penurunan kualitas layanan yang diberikan kepada masyarakat.

Krisis Tenaga Kerja dan Implikasi Sosial

Di tengah semua ini, pasar kerja Inggris juga mengalami masalah yang cukup pelik. Secara resmi, angka pengangguran di Inggris tergolong rendah, namun kenyataannya, ada sekitar 11 juta orang yang dianggap tidak aktif secara ekonomi. Mereka yang seharusnya berkontribusi dalam angkatan kerja kini terpinggirkan, baik karena alasan kesehatan, perawatan keluarga, maupun pendidikan. Pekerja migran pun dihadirkan untuk mengisi kekosongan yang ada, namun hal ini memicu ketegangan sosial.

Seperti yang diungkapkan dalam berbagai laporan, “Peningkatan jumlah imigran di Inggris memicu ketegangan sosial.” Di awal Agustus 2024, protes anti-imigrasi dan kerusuhan melanda Inggris, menunjukkan bahwa perubahan demografi ini tak bisa diabaikan begitu saja. Masyarakat merasa terancam oleh perubahan ini, dan para pembuat kebijakan harus segera mencari jalan keluar dari situasi ini.

More From Author

Para pengunjuk rasa di luar Stasiun Kings Cross selama Unjuk Rasa 'Cukup Sudah' Menentang Tagihan Energi, pada 01 Oktober 2022 di London, Inggris. (Kate Green - Anadolu Agency)

Militer Eropa di Titik Kritis: AS Mundur, Rusia Siap Menyerang Lagi?

Para pengunjuk rasa di luar Stasiun Kings Cross selama Unjuk Rasa 'Cukup Sudah' Menentang Tagihan Energi, pada 01 Oktober 2022 di London, Inggris. (Kate Green - Anadolu Agency)

Konflik Palestina: Mengapa Negara Arab Beralih ke Israel?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *