(Khabar) – Korea Selatan sedang diguncang oleh kasus deepfake yang semakin meresahkan, terutama yang menyasar perempuan dan anak-anak. Gambar-gambar deepfake berisi konten seksual ini dihasilkan dari foto sekolah, swafoto di media sosial, hingga wajah tentara perempuan. Teknologi ini memungkinkan manipulasi foto wajah untuk membuat gambar eksplisit dalam hitungan detik.
Penyebaran Melalui Telegram
Telegram telah menjadi salah satu platform utama yang memfasilitasi penyebaran konten pornografi deepfake. Dalam platform ini, pengguna dapat mengunggah foto, dan sekejap saja wajah orang tersebut diubah menjadi konten yang tidak senonoh. Salah satu saluran di Telegram bahkan memiliki lebih dari 220.000 peserta yang berbagi konten ilegal ini.
Aksi Warga Korea Selatan
Terkait maraknya kasus ini, warga Korea Selatan pun tak tinggal diam. Demonstrasi besar-besaran terjadi di pusat kota Seoul, dengan sekitar 1.200 orang dari ratusan organisasi masyarakat sipil berkumpul untuk menuntut tindakan yang lebih tegas dari pemerintah. Dalam salah satu orasi, seorang demonstran dengan tegas mengatakan, “Mari kita berhenti merasa cemas dan takut, serta berjuang untuk mendapatkan kembali hidup kita!”
Penyelidikan Polisi dan Statistik
Polisi Korea Selatan telah memulai penyelidikan serius terhadap jaringan deepfake, termasuk di dua universitas besar yang terlibat dalam kasus ini. Penyelidikan ini menemukan bahwa media sosial digunakan untuk mengambil foto siswa sekolah menengah yang kemudian dimanipulasi menjadi konten pornografi.
Data dari Badan Kepolisian Nasional menunjukkan bahwa kasus deepfake meningkat drastis dari 156 kasus pada 2021 menjadi 297 kasus di tahun ini. Lebih dari 75 persen korban adalah remaja, dan lebih dari 500 sekolah terkena dampaknya. Ini jelas memperlihatkan bahwa masalah ini bukan sekadar masalah teknologi, tetapi juga menyangkut masa depan generasi muda Korea Selatan.
Tindakan Pemerintah
Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, telah memerintahkan pihak berwenang untuk mengambil tindakan tegas terhadap kejahatan ini. Berdasarkan revisi Undang-Undang Hukuman Kekerasan Seksual 2020, para pelaku kejahatan deepfake dapat dihukum hingga lima tahun penjara atau denda hingga 50 juta won.
Dampak Psikologis Bagi Korban Anak
Dampak psikologis dari kejahatan ini tidak bisa dianggap remeh, terutama bagi anak-anak yang menjadi korban. Mijeong Kang, direktur advokasi dari Save the Children Korea, menyoroti bahwa “Jika video atau gambar diunggah tanpa persetujuan anak, hal itu dapat menyebar seperti api dan penderitaan yang dialami anak-anak ini akan terus berlanjut hingga mereka dewasa.”
Tanggapan Telegram dan Penegakan Hukum
Kasus ini juga menyeret Telegram dan pendirinya, Pavel Durov, yang telah ditangkap oleh otoritas Prancis karena diduga membiarkan aktivitas kriminal di platformnya. Telegram kemudian meminta maaf kepada pemerintah Korea Selatan dan telah menghapus beberapa konten deepfake yang diminta. Namun, meski sudah ada undang-undang yang memperberat hukuman, tingkat penangkapan pelaku masih rendah. Tahun lalu, hanya sekitar 48 persen pelaku kejahatan ini yang berhasil ditangkap.
Kejahatan deepfake di Korea Selatan ini adalah cerminan bagaimana teknologi, meski membawa banyak manfaat, bisa disalahgunakan dengan cara yang mengerikan. Teknologi ini seharusnya digunakan untuk inovasi dan memperbaiki kehidupan, bukan merusak privasi orang lain.
Peran pemerintah dalam menegakkan hukum menjadi sangat krusial, namun tanpa kesadaran publik yang lebih luas, kasus seperti ini akan terus muncul. Korea Selatan sudah mengambil langkah maju dengan undang-undang yang lebih tegas, namun penegakan hukumnya perlu lebih konsisten.
Tantangan terbesar mungkin adalah bagaimana masyarakat global dapat bersama-sama memerangi penyalahgunaan teknologi seperti ini, sehingga korban tidak semakin bertambah dan kejahatan seperti ini tidak lagi merajalela. Deepfake bukan sekadar kejahatan teknologi, tetapi juga ancaman serius bagi kemanusiaan.