Khabar – ‘Susu ikan’ tiba-tiba mencuri perhatian publik setelah diusulkan sebagai pengganti susu sapi dalam rapat kerja bersama DPR RI. Direktur Utama Holding Pangan ID FOOD, Sis Apik Wijayanto, mengungkapkan bahwa pengadaan susu sapi dari peternakan besar memerlukan waktu dua hingga tiga tahun. Dalam upaya memenuhi kebutuhan program makan gratis, ID FOOD mengusulkan ‘susu ikan’ sebagai alternatif.
Dalam pernyataannya, Sis Apik menjelaskan, “Pengadaan susu dari mega farm butuh dua sampai tiga tahun, yang diusulkan maunya pengadaan awalnya maksimalkan ke peternak lokal di seluruh Indonesia, tapi jika tidak mungkin, ada produk alternatif yang bisa dilakukan sebagai pengganti susu sapi, misal dari ikan ada juga.” Namun, ia juga menambahkan bahwa “Ini masih dalam kajian. Usulan ini pernah disampaikan beberapa tokoh masyarakat, tapi aroma dari susu ikan masih perlu perbaikan.”
Usulan ini mendapat sorotan tajam dari para ahli. Ahli gizi dr. Tan Shot Yen menilai ‘susu ikan’ sebagai pangan ultra-proses yang kurang ideal. “Kalau bisa makan ikannya, kenapa mesti ada pabrik susu ikan? Di daerah nggak ada ikan? Ada aneka telur, unggas. Kita butuh literasi dan edukasi. Bukan nambah industri, ikan segar kaya manfaat dan bukan produk ultra proses,” tegas dr. Tan. Ia juga menyoroti harga ‘susu ikan’ yang mencapai Rp 120 ribu per kaleng, yang dianggap tidak sebanding dengan manfaatnya dibandingkan ikan utuh.
Kekhawatiran juga muncul terkait kandungan gula dalam ‘susu ikan’. Spesialis gizi klinik dr. Putri Sakti menyoroti bahwa beberapa produk ‘susu ikan’ mengandung gula tinggi dan maltodekstrin, yang memiliki indeks glikemik lebih tinggi daripada gula pasir.
“Karena di beberapa merek (susu ikan), kandungan gulanya cukup tinggi lho. Kemudian juga ada tambahan maltodekstrin, padahal maltodekstrin, indeks glikemiknya jauh lebih tinggi dibandingkan gula pasir, jadi tentunya terutama untuk anak-anak itu nggak bagus,” ungkap dr. Putri.
Dari segi perbandingan, susu ikan tidak dapat disamakan secara langsung dengan susu sapi. Dr. Putri menjelaskan, “Susu ikan yang merupakan produk inovasi berbahan baku pangan ini sebetulnya kan dia dibuat seolah-olah seperti susu, tapi dia ini sebetulnya hidrolisat protein ikan. Jadi, secara nutrisi tidak bisa dicomparing secara apple to apple.”
Ketua Umum PERGIZI PANGAN Indonesia, Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, menilai bahwa ‘susu ikan’ lebih tepat disebut sari ikan atau jus ikan. “Kalau berasal dari binatang, nggak ada kelenjar susunya disebutnya sari, kalau bahasa benarnya ya seperti sari kedelai, sari almond. Jadi kan harusnya disebut sari ikan atau jus ikan,” jelas Prof. Hardinsyah.
Di sisi lain, Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana, menyatakan bahwa saat ini belum ada rencana menggunakan ‘susu ikan’ dalam program makan bergizi gratis. Namun, masukan tersebut akan dikaji lebih lanjut.
Usulan ‘susu ikan’ jelas menggugah perdebatan mengenai inovasi pangan dan kesehatan. Sementara usulan ini mungkin dimaksudkan untuk mengatasi kekurangan pasokan susu sapi, kita harus kritis terhadap setiap produk baru yang masuk ke pasar.
Terutama, penting untuk memastikan bahwa produk seperti ‘susu ikan’ tidak hanya sekadar solusi jangka pendek, tetapi juga benar-benar bermanfaat secara nutrisi dan ekonomi. Apakah ini benar-benar solusi terbaik atau hanya mengalihkan masalah? Pembaca, bagaimana menurut kalian? Apakah kita harus lebih memperhatikan manfaat dari produk olahan atau lebih memilih sumber pangan asli yang lebih alami?