Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto. (Voiceindonesia.co)

Heru Pambudi Dipanggil KPK: Dugaan Korupsi Kapal Bea Cukai Rp117 Miliar

Pada 1 Oktober 2024, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil mantan Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Heru Pambudi, terkait dugaan korupsi dalam pengadaan kapal patroli cepat di Ditjen Bea Cukai. Pemanggilan ini menjadi salah satu langkah KPK dalam mengusut kasus yang diduga menyebabkan kerugian negara mencapai ratusan miliar rupiah. Kasus ini menarik perhatian publik karena melibatkan dua mantan pejabat penting yang pernah mengelola Bea Cukai, dan nilai kerugian negara yang signifikan.

Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, telah mengonfirmasi pemanggilan Heru Pambudi. Meski demikian, Tessa tidak memberikan informasi rinci mengenai materi pemeriksaan. “Saat ini, penyidik masih melakukan pemeriksaan awal terkait dugaan tindak pidana korupsi pengadaan kapal patroli di Ditjen Bea Cukai,” ujar Tessa dalam keterangan tertulis.

Pemanggilan Agung Kuswandono: Mantan Dirjen Lain Juga Diperiksa

Selain Heru Pambudi, KPK juga memanggil Agung Kuswandono, mantan Dirjen Bea dan Cukai lainnya yang menjabat antara 2011 hingga 2015. Pemanggilan Agung dilakukan pada hari yang sama di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta. Pemanggilan kedua mantan Dirjen ini menambah panas kasus yang sudah mulai diusut sejak beberapa tahun lalu.

KPK tampaknya berfokus pada periode 2013 hingga 2015, di mana 16 kapal patroli cepat menjadi objek korupsi. Kapal-kapal ini diduga dibeli dengan spesifikasi yang tidak sesuai dengan kontrak, terutama terkait kecepatan kapal yang seharusnya bisa mencapai standar tertentu, namun ternyata gagal saat uji coba. Selain itu, kapal-kapal ini juga diduga tidak memenuhi sertifikasi dual class yang menjadi syarat utama dalam kontrak tersebut. Akibatnya, negara mengalami kerugian yang cukup besar, diperkirakan mencapai Rp117,7 miliar.

Kronologi Pengadaan Kapal dan Dugaan Penyimpangan

Kasus ini berawal pada November 2012, ketika Sekretaris Jenderal Ditjen Bea dan Cukai mengajukan permohonan persetujuan kontrak tahun jamak kepada Kementerian Keuangan untuk pengadaan 16 kapal patroli cepat. Kapal-kapal tersebut bervariasi dalam ukuran, mulai dari 28 meter hingga 60 meter panjangnya. Nilai kontrak pengadaan kapal ini mencapai Rp1,12 triliun, dan melibatkan beberapa pihak, termasuk konsultan perencana, konsultan pengawas, dan pembuat kapal.

Namun, selama pelaksanaan proyek, ditemukan sejumlah pelanggaran hukum. Kapal-kapal yang dihasilkan ternyata tidak mampu memenuhi kecepatan yang ditetapkan, dan lebih buruk lagi, tidak lolos sertifikasi dual class yang diwajibkan dalam kontrak. Walaupun kapal-kapal tersebut tidak memenuhi standar, pihak Ditjen Bea dan Cukai tetap menerima kapal-kapal itu dan bahkan melanjutkan proses pembayaran penuh kepada penyedia.

Keputusan untuk tetap menerima kapal meskipun tidak sesuai standar ini menjadi salah satu fokus KPK dalam menyelidiki dugaan penyimpangan. Mengapa pihak Ditjen Bea dan Cukai tetap melanjutkan pembayaran padahal jelas-jelas kapal-kapal tersebut tidak memenuhi syarat? Apakah ada kepentingan tertentu atau tekanan dari pihak tertentu yang menyebabkan hal ini?

Kasus dugaan korupsi pengadaan kapal patroli cepat ini menunjukkan bagaimana proses pengadaan barang dan jasa di institusi pemerintah bisa rentan terhadap penyimpangan jika tidak diawasi dengan ketat. Kapal-kapal yang seharusnya menjadi alat pertahanan negara justru menjadi sumber kerugian besar. Sangat penting untuk mempertanyakan apakah sistem pengawasan internal di Ditjen Bea dan Cukai sudah cukup kuat untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.

Pemanggilan dua mantan Dirjen Bea dan Cukai, Heru Pambudi dan Agung Kuswandono, adalah langkah positif dari KPK untuk mengusut kasus ini. Namun, publik tentu berharap agar proses penyelidikan ini berjalan transparan dan akuntabel, tanpa ada pihak yang berusaha menutup-nutupi fakta atau melindungi pihak-pihak tertentu.

Sebagai masyarakat, kita perlu terus mengawal kasus-kasus seperti ini dan mendukung KPK untuk menuntaskan penyelidikannya. Jika terbukti bersalah, pihak-pihak yang terlibat harus mendapatkan hukuman yang setimpal, agar kasus-kasus korupsi seperti ini tidak terus terjadi. Di sisi lain, pemerintah juga harus memperkuat sistem pengadaan barang dan jasa di seluruh institusi, agar lebih transparan dan minim celah untuk korupsi.

Kejadian ini juga menjadi pengingat bagi kita semua akan pentingnya kejujuran dan integritas, terutama di sektor-sektor yang berhubungan langsung dengan kepentingan publik. Korupsi di institusi penting seperti Bea Cukai, yang seharusnya menjaga perbatasan negara, menunjukkan bahwa reformasi birokrasi di Indonesia masih memerlukan perhatian serius.

Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto. (Voiceindonesia.co)

Sekjen PBB Dilarang Masuk Israel, Guterres Dituduh Pro-Hamas & Hizbullah

Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto. (Voiceindonesia.co)

Terjangkit Flu Burung, Puluhan Harimau dan Singa Mati di Vietnam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *