Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menerima tambahan anggaran sebesar Rp 10 miliar untuk APBN 2025. Dana ini dialokasikan khusus untuk mendukung salah satu program strategis pemerintah, yaitu Program Makan Bergizi Gratis. Menurut Menteri Kominfo, Budi Arie Setiadi, dana ini akan digunakan untuk “pengelolaan dan diseminasi informasi tematik Program Makan Bergizi Gratis,” yang bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi.
Dalam Rapat Kerja bersama Komisi I DPR RI pada Kamis (12/9/2024), Budi Arie juga menjelaskan bahwa meskipun ada tambahan dana, total pagu alokasi anggaran Kominfo tahun 2025 sebenarnya mengalami penurunan drastis. Dari Rp 7,73 triliun, pagu tersebut turun sebanyak 49,09 persen dibandingkan tahun anggaran 2024. Meskipun begitu, dana tambahan tetap menjadi dukungan penting untuk menjalankan program-program strategis.
Rincian Alokasi Dana Menteri Kominfo juga memaparkan bahwa dana yang disediakan terbagi menjadi beberapa sumber, termasuk dana rupiah murni sebesar Rp 2,17 triliun, PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) sebesar Rp 1,21 triliun, BLU (Badan Layanan Umum) Rp 3,58 triliun, dan pinjaman luar negeri sebesar Rp 773,25 miliar. Alokasi ini, meski mengalami pergeseran, tetap diprioritaskan untuk diseminasi informasi serta program-program manajemen.
Namun, ada juga pergeseran fokus anggaran dari program penyediaan infrastruktur dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) ke dukungan manajemen. Meskipun begitu, perubahan ini tidak mengubah total pagu anggaran per unit kerja eselon I Kementerian Kominfo.
Transformasi Digital untuk Indonesia Emas 2045 Selain fokus pada program Makan Bergizi Gratis, Budi Arie menegaskan bahwa Kementerian Kominfo tetap berkomitmen mendukung transformasi digital sesuai dengan agenda Indonesia Emas 2045.
Langkah-langkah yang diambil adalah dengan “penguatan infrastruktur dan SDM digital, penguatan ekosistem digital, penciptaan ruang digital yang sehat, bijaksana, produktif, serta penguatan komunikasi publik.”
Untuk mendukung ini, Kementerian Kominfo mengusulkan tambahan anggaran sebesar Rp 13,27 triliun pada tahun 2025, yang akan digunakan untuk proyek Digitalization on Broadcasting System (DBS).
Proyek ini sempat tertunda dan diharapkan bisa dilanjutkan tahun depan dengan dukungan dana tambahan tersebut.
Optimalkan PNBP untuk Percepat Digitalisasi Di sisi lain, pemerintah juga berupaya mempercepat transformasi digital di Indonesia dengan mengoptimalkan penerimaan PNBP.
Dalam rapat kerja dengan DPR, Budi Arie menyatakan bahwa PNBP adalah salah satu instrumen penting untuk memenuhi kebutuhan anggaran yang semakin besar dalam mendukung program-program digitalisasi.
Menurut data, anggaran Kementerian Kominfo pernah mencapai Rp 26,37 triliun pada 2022, sebelum menurun menjadi Rp 16,78 triliun pada 2023.
Meski demikian, realisasi PNBP terus meningkat, dengan capaian tertinggi Rp 27,12 triliun pada 2022.
Namun, ada tren penurunan signifikan dalam izin penggunaan PNBP, terutama dari BHP frekuensi yang turun dari 43 persen pada 2022 menjadi hanya 28,35 persen pada 2024. Menkominfo memperkirakan pada 2025 angka ini bisa turun lebih rendah lagi menjadi 3,32 persen.
Hal ini tentu menjadi tantangan besar bagi pemerintah untuk mencari sumber pendapatan lain guna mendukung program-program prioritas yang tidak bisa sepenuhnya didanai dengan dana rupiah murni.
Penurunan anggaran Kominfo, terutama dalam izin penggunaan PNBP, seolah memperlihatkan bahwa ada tantangan serius dalam hal pendanaan transformasi digital. Meski ada upaya dari Kementerian untuk tetap menjaga prioritas strategis seperti program Makan Bergizi Gratis dan transformasi digital, kita perlu bertanya: apakah cukup hanya dengan anggaran tambahan Rp 10 miliar ini untuk menjalankan program-program besar?
Pemerintah harus lebih kreatif dalam mencari sumber dana tambahan, terutama mengingat pentingnya ekosistem digital dan infrastruktur yang sedang dibangun untuk Indonesia Emas 2045.
Pemerintah perlu memperkuat fokus pada efisiensi anggaran, bukan hanya penambahan nominal. Apakah anggaran besar menjamin efektivitas program?
Atau malah akan muncul masalah dalam pelaksanaan? Hal ini perlu menjadi bahan renungan kita bersama, terutama bagi mereka yang mengelola kebijakan publik di bidang teknologi dan informasi.