Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan, menjadi sorotan publik akibat tingginya angka suara tidak sah yang tercatat di berbagai Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Kondisi ini memunculkan pertanyaan tentang mekanisme pemilu yang ada serta reaksi warga terhadap situasi politik di daerah tersebut.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengambil keputusan untuk meniadakan mekanisme kotak kosong dalam Pilkada Banjarbaru setelah pasangan calon (paslon) nomor urut 2, Aditya Mufti Ariffin-Said Abdullah, didiskualifikasi.
Diskualifikasi tersebut disebabkan oleh pelanggaran administratif yang dianggap signifikan, sehingga hanya menyisakan satu pasangan calon, Erna Lisa Halaby-Wartono.
Keputusan ini secara otomatis membuat hasil pemilu menjadi hampir dapat diprediksi sejak awal.
Namun, alih-alih mendukung paslon tunggal, sebagian besar warga memilih untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka melalui surat suara tidak sah.
Di beberapa TPS, jumlah suara tidak sah bahkan melampaui suara yang diperoleh paslon Lisa-Wartono.
Misalnya, di TPS 026 Sungai Besar, dari total 516 Daftar Pemilih Tetap (DPT), Lisa-Wartono hanya memperoleh 161 suara, sementara jumlah suara tidak sah mencapai 237.
Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) TPS 026, Andir Harun, menyebutkan bahwa formulir C1 menunjukkan lebih banyak pemilih yang mencoblos untuk paslon Aditya-Said Abdullah, meskipun mereka telah didiskualifikasi.
Situasi serupa terjadi di TPS 01 Guntung Paikat.
Di lokasi ini, suara tidak sah tercatat sebanyak 243, sedangkan paslon Lisa-Wartono hanya meraih 77 suara.