Khabar – Pada Kamis, 12 September 2024, Universitas Palangka Raya (UPR) kembali bergelora dengan suara lantang para mahasiswanya. Melalui aksi bertajuk Mimbar Kritis Mahasiswa UPR, mahasiswa dari berbagai fakultas berbondong-bondong turun ke halaman rektorat untuk menyuarakan keluhan dan tuntutan mereka. Ini bukan kali pertama mereka bergerak. Setahun lalu, gerakan serupa juga dilancarkan, namun nampaknya hingga saat ini, keluhan-keluhan tersebut belum mendapatkan perhatian serius dari pihak kampus.
Gerakan ini diprakarsai oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UPR dan melibatkan seluruh Keluarga Besar Mahasiswa (KBM) Fakultas. Mereka menuntut perubahan nyata dari pihak Rektorat, Dekanat, dan seluruh jajaran kampus terkait ketimpangan yang terjadi, mulai dari infrastruktur hingga kualitas pengajaran yang mereka rasakan tidak sebanding dengan besarnya Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) yang dibayarkan oleh mahasiswa.
Infrastruktur dan Pelayanan Masih Memprihatinkan
Salah satu poin utama yang menjadi sorotan dalam aksi ini adalah kondisi infrastruktur kampus yang dinilai tidak memadai. Mahasiswa mengeluhkan berbagai hal, mulai dari gedung yang catnya berkapur, plafon yang rusak, ruangan yang bocor, hingga kekurangan ruang kelas.
“Helm mahasiswa sering kehilangan, keamanan di kampus sangat kurang!” ucap salah satu mahasiswa yang turut dalam aksi. Ini menunjukkan betapa mahasiswa sudah merasa tidak nyaman dengan kondisi kampus mereka.
Selain itu, keluhan juga datang terkait pelayanan di beberapa fakultas. Ada oknum dosen yang dianggap melakukan pungli berkedok penjualan buku, hingga staf yang pelayanannya kurang memuaskan. Bahkan, mahasiswa takut melapor karena khawatir berkas mereka yang berada di loket akan disalahgunakan.
Minimnya Fasilitas Penunjang Akademik
Dari segi akademik, keluhan serupa muncul. Beberapa fakultas kekurangan alat penunjang belajar-mengajar, seperti proyektor LCD yang tidak memadai hingga AC yang tidak hidup. Tidak hanya itu, banyak mahasiswa merasa dosen mereka tidak cukup aktif dalam memberikan pengajaran.
“Dosen kami sering terlambat, bahkan ada yang hanya mengirimkan tugas lewat grup tanpa penjelasan apapun,” keluh salah satu mahasiswa. Selain itu, modul yang digunakan pun dianggap sudah ketinggalan zaman. Beberapa oknum dosen bahkan tidak pernah masuk kelas, sehingga proses belajar menjadi tidak optimal.
Harapan Mahasiswa: Perubahan Nyata
Gerakan ini tidak hanya sekadar menyampaikan keluhan, tetapi juga menjadi momentum bagi mahasiswa untuk menuntut perubahan nyata dari pihak kampus. Mereka berharap agar rektorat, dekanat, dan seluruh jajaran kampus mulai berbenah dan lebih serius dalam menanggapi keluhan mahasiswa. “Kami berharap aksi ini bisa membuat pihak kampus lebih peduli dengan nasib mahasiswa dan segera melakukan perbaikan,” ucap salah satu koordinator aksi.
Perbaikan Kampus, Urgensi yang Tidak Bisa Ditunda
Melihat kondisi ini, kita harus berpikir lebih kritis. Apakah besar UKT dan IPI yang dibayarkan oleh mahasiswa sudah sepadan dengan fasilitas dan kualitas pendidikan yang mereka terima? Infrastruktur yang baik dan layanan akademik yang memadai adalah hak mahasiswa, bukan sekadar fasilitas tambahan.
Gerakan mahasiswa ini adalah wujud kepedulian mereka terhadap kampus, dan itu merupakan hal yang positif. Tuntutan mereka tidak hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi juga untuk generasi mahasiswa di masa depan. Kita berharap, dengan aksi ini, pihak kampus mulai menyadari pentingnya mendengarkan suara mahasiswa dan segera melakukan perbaikan yang dibutuhkan.