Apakah Indonesia siap menghadapi tantangan yang datang bersamaan dengan bonus demografi yang diperkirakan akan mencapai puncaknya pada 2030-an? Dalam pernyataan terbaru, Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya memperluas lapangan kerja untuk mengantisipasi lonjakan jumlah tenaga kerja yang akan memasuki pasar. “Kita harus fokus pada pasar kerja. Di masa depan, akan ada terlalu sedikit pekerjaan untuk terlalu banyak orang,” ungkap Jokowi.
Bonus demografi bisa menjadi kekuatan yang luar biasa, tetapi juga dapat menjadi beban berat jika tidak dikelola dengan baik. Dalam konteks ini, tantangan utama yang harus dihadapi adalah bagaimana menjadikan Indonesia sebagai negara maju. Tantangan tersebut tidak hanya berasal dari dalam negeri, tetapi juga dari ekonomi global yang sedang mengalami ketidakpastian. Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan hanya mencapai 2,6% di tahun ini, jauh dari harapan. Namun, Jokowi optimis bahwa Indonesia dapat tumbuh 5,1% pada 2024. “Bisa tumbuh sekitar 5,1 (persen) adalah pencapaian yang cukup,” tegasnya.
Bonus demografi adalah kondisi di mana proporsi penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih besar dibandingkan dengan penduduk non-produktif (anak-anak dan lansia). Hal ini biasanya terjadi saat angka kelahiran menurun dan harapan hidup meningkat, sehingga menghasilkan lebih banyak orang yang dapat bekerja dan berkontribusi pada perekonomian. Jika dikelola dengan baik, bonus demografi dapat menjadi peluang untuk pertumbuhan ekonomi, namun jika tidak, dapat menjadi beban jika jumlah lapangan kerja tidak mencukupi.
Salah satu tantangan yang dihadapi adalah otomatisasi di sektor pekerjaan, yang telah bertransisi dari otomatisasi mekanis ke kecerdasan buatan (AI). Diperkirakan bahwa sekitar 85 juta pekerjaan akan hilang pada 2025 karena peningkatan otomatisasi. Hal ini menuntut perencanaan dan adaptasi yang cermat agar tenaga kerja dapat beralih ke bidang baru yang mungkin akan muncul.
Selanjutnya, Jokowi juga mengingatkan tentang ekonomi gig, yang semakin berkembang. Meskipun menawarkan fleksibilitas, ekonomi gig membawa risiko tersendiri. “Jika tidak dikelola dengan baik, ini akan menjadi tren,” kata Jokowi. Mengelola ekonomi gig dengan bijak adalah kunci untuk memastikan pekerja independen tidak hanya menjadi opsi, tetapi juga memiliki perlindungan yang memadai.
Dari semua tantangan ini, penting untuk menyusun perencanaan lapangan kerja yang tepat agar Indonesia dapat meraih manfaat dari bonus demografi. Sektor-sektor yang tumbuh pesat, seperti teknologi dan layanan kesehatan, harus menjadi prioritas dalam pengembangan lapangan kerja. Tanpa langkah proaktif, Indonesia bisa terjebak dalam perangkap pertumbuhan yang tidak merata.
Melihat tantangan dan peluang yang ada, kita percaya bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk memanfaatkan bonus demografi. Namun, semua ini tergantung pada seberapa siap kita merespons dan beradaptasi terhadap perubahan yang ada. Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sangat diperlukan untuk menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan lapangan kerja yang inklusif dan berkelanjutan. Mari kita bersikap optimis dan bersiap untuk masa depan yang lebih cerah!