Khabar – Pada tahun 2025, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) direncanakan naik menjadi 12%. Kebijakan ini menjadi sorotan utama dalam diskusi publik terbaru yang diadakan oleh INDEF (Institute for Development of Economics and Finance). Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti, memaparkan bahwa kenaikan tarif ini bisa menyebabkan kontraksi ekonomi yang signifikan di Indonesia.
Dalam diskusi online bertajuk “Moneter dan Fiskal Ketat, Daya Beli Melarat,” Esther menjelaskan proyeksi dampak dari kenaikan tarif PPN yang mungkin mencapai 12,5%. Menurutnya, kebijakan ini bisa mempengaruhi beberapa aspek penting dalam perekonomian Indonesia:
- Pertumbuhan Ekonomi: Diperkirakan akan mengalami penurunan sebesar -0,11%.
- Inflasi: Indeks Harga Konsumen (IHK) diproyeksikan turun -0,84%.
- Upah Riil: Diperkirakan menurun sebesar -5,86%.
- Ekspor dan Impor: Eksport diperkirakan turun -0,14%, sedangkan impor bisa menurun drastis hingga -7,02%.
- Konsumsi Masyarakat: Diprediksi akan mengalami penurunan -3,32%.
Esther juga menambahkan bahwa dampak kenaikan tarif PPN ini tidak hanya akan mempengaruhi perekonomian kota besar, tetapi juga akan dirasakan di daerah pedesaan. “Kami coba menghitung jika skenario kenaikan tarif itu PPN 12,5 persen, maka yang terjadi adalah ternyata kenaikan tarif ini membuat perekonomian terkontraksi,” ujar Esther.
Di sisi lain, Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) telah menyuarakan keberatan terhadap kebijakan ini. Ketua Umum Hippindo, Budihardjo Iduansjah, meminta pemerintah untuk menunda kenaikan tarif PPN hingga 2026. Ia mengusulkan beberapa langkah yang dapat diambil pemerintah, termasuk mengembalikan pungutan pajak ke sektor ritel dan meningkatkan daya beli masyarakat melalui program stimulan. Budihardjo percaya bahwa peningkatan daya beli masyarakat akan berdampak positif terhadap omzet peritel, yang pada gilirannya akan meningkatkan setoran pajak.
Budihardjo juga menambahkan, “Kondisi saat ini kan kita mau perkuat perdagangan dalam negeri, ya intinya kalau memang PPN di naikkan, kami harapkan dikembalikan, artinya ada dua (pilihan), kalau bisa gak dinaikkan kasih waktu tahun depan lagi.” Ia juga berpendapat bahwa fokus pada peningkatan omzet jauh lebih efektif daripada hanya menaikkan tarif PPN. “Kalau omzetnya naik otomatis pajaknya lebih gede, itung aja sendiri, pasti lebih gede.”
Kenaikan tarif PPN yang direncanakan dapat memiliki dampak yang sangat luas pada perekonomian kita. Meskipun niat pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara mungkin baik, efektivitas kebijakan ini patut dipertanyakan jika ternyata justru akan mengurangi daya beli masyarakat dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Apakah ada cara lain untuk meningkatkan pendapatan negara tanpa harus membebani masyarakat dengan kenaikan tarif pajak yang signifikan? Ini adalah pertanyaan penting yang harus dipertimbangkan oleh para pembuat kebijakan.
Dengan mempertimbangkan semua aspek ini, penting bagi kita untuk terus memantau dampak dari kebijakan tersebut dan memastikan bahwa langkah-langkah yang diambil dapat memberikan manfaat maksimal bagi perekonomian tanpa menambah beban bagi masyarakat.
Apakah kebijakan ini akan menjadi solusi jangka panjang yang efektif atau justru menambah tantangan ekonomi kita di masa depan? Mari kita lihat bagaimana perkembangan selanjutnya.