Paus Fransiskus mengunjungi Papua Nugini pada hari Sabtu, di mana ia menyerukan agar sumber daya alam yang melimpah bisa memberi manfaat bagi “seluruh komunitas” – sebuah tuntutan bermuatan politik di negara di mana banyak orang yakin kekayaan mereka telah dicuri atau disia-siakan.
Saat berbicara dengan para pemimpin politik dan bisnis, Paus yang berusia 87 tahun itu memuji tuan rumah yang kaya akan budaya dan sumber daya alam – mengingat cadangan emas, tembaga, nikel, gas, dan kayu yang sangat besar.
Namun, menurutnya, puluhan miliar dolar yang dihasilkan dari penggalian, pengerukan, dan pengeboran bumi diperlukan untuk memberi manfaat bagi lebih dari sebagian kecil penduduk negara yang berjumlah 12 juta jiwa tersebut.
“Barang-barang ini ditakdirkan oleh Tuhan untuk seluruh komunitas,” ucap Paus Fransiskus.
Meskipun memiliki kekayaan sumber daya, Papua Nugini adalah salah satu negara termiskin di Pasifik.
Antara seperempat dan setengah penduduknya hidup dalam kemiskinan yang ekstrem. Hampir tidak lebih dari 10 persen rumah yang mempunyai listrik.
Sekalipun “para ahli dari luar dan perusahaan internasional besar harus dilibatkan dalam pemanfaatan sumber daya ini”, mereka tidak boleh menjadi satu-satunya pihak yang memperoleh manfaat, ucap Paus.
“Sudah sepantasnya kebutuhan masyarakat setempat dipertimbangkan ketika mendistribusikan hasil dan memberdayakan pekerja, untuk meningkatkan kondisi kehidupan mereka,” tambahnya.
Pesan ini kemungkinan besar akan diterima oleh jutaan umat Katolik di Papua Nugini – dan jutaan lainnya di wilayah kaya sumber daya di Afrika, Amerika Latin, dan tempat lain.
Peziarah berusia dua puluh dua tahun, Jonathan Kais, dari Pulau Manus, menyambut baik pernyataan Paus dan berharap pernyataan tersebut akan memacu pemerintah untuk memberi layanan yang lebih baik.
“Layanan yang kami terima di pedesaan dari para pemimpin di parlemen, tidak seberapa (dibandingkan dengan) apa yang mereka peroleh dari sumber daya negara,” katanya kepada AFP.
Selama beberapa dekade, Papua Nugini dipenuhi dengan banyak tambang yang dikelola Amerika, Australia, Kanada, Eropa, dan Cina.
Proyek senilai $19 miliar, atau sekitar 293 triliun Rupiah, yang dipimpin ExxonMobil telah menghasilkan puluhan juta ton gas alam cair sejak operasinya dimulai pada tahun 2014.
Namun para ekonom hanya menemukan sedikit bukti bahwa proyek tersebut memang telah membantu masyarakat miskin di Papua Nugini.
Sebuah studi Bank Dunia baru-baru ini menunjukkan bahwa antara tahun 2009 dan 2018, produk domestik bruto per orang di negara tersebut tumbuh lebih dari sepertiganya karena lonjakan sumber daya.
“Kemiskinan hampir tidak berubah selama kurun waktu tersebut,” kata penulis laporan tersebut.
Paus Fransiskus sedang melakukan kunjungan maraton selama 12 hari ke Asia-Pasifik, mengunjungi Indonesia, Timor Timur dan Singapura untuk mempromosikan dialog antaragama dan merangkul wilayah-wilayah yang terpinggirkan.
Pada Sabtu, ia juga mengajukan permohonan kepada masyarakat Papua Nugini untuk “menghentikan spiral” kekerasan suku yang telah menewaskan banyak orang dan membuat puluhan ribu lainnya mengungsi.
“Ini adalah harapan khusus saya bahwa kekerasan suku akan berakhir,” katanya.
“Hal ini menimbulkan banyak korban, menghalangi masyarakat untuk hidup damai dan menghambat pembangunan.”
Hanya ada sedikit perkiraan yang dapat diandalkan mengenai seberapa banyak orang yang tewas selama puluhan tahun kerusuhan suku antar puluhan klan di dataran tinggi negara tersebut.
Namun badan-badan PBB memperkirakan sekitar 100.000 orang telah mengungsi akibat siklus serangan balasan, yang semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Pembunuhan seringkali sangat kejam, korbannya dibacok dengan parang, dibakar, dimutilasi atau disiksa. Warga sipil, termasuk wanita hamil dan anak-anak, telah menjadi sasaran di masa lalu.
Masuknya tentara bayaran dan senjata otomatis telah membuat bentrokan menjadi lebih mematikan. Dulunya busur, tombak, dan pentungan merupakan senjata pilihan, kini anggota suku memiliki gudang senjata yang lengkap berupa senapan SLR, AK-47, dan M16.
Pemerintahan Papua Nugini telah berupaya melakukan tekanan, mediasi, amnesti senjata dan sejumlah strategi lain untuk mengendalikan situasi, namun tidak membuahkan hasil.
Para ahli berpendapat kekerasan tersebut tak ada hubungannya dengan adat istiadat kuno, dan lebih merupakan masalah modern berupa melonjaknya populasi, tidak berlakunya aturan perang tradisional, pengangguran, dan meningkatnya biaya hidup.
Ada kekhawatiran yang semakin besar bahwa kekerasan akan menyebar ke wilayah lain di negara ini.
Pada bulan Juli, setidaknya 27 orang – di antaranya 11 anak-anak – dibantai di Distrik Angoram, tidak jauh dari pantai utara.
Sumber: AFP