Mahkamah Konstitusi (MK) resmi memperjelas kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menangani kasus korupsi yang melibatkan unsur militer.
Dalam putusannya, MK menegaskan bahwa KPK dapat menyelidiki dan menuntut kasus korupsi yang melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI), dengan syarat kasus tersebut dimulai atau ditemukan oleh KPK.
Keputusan ini merupakan respons terhadap pengajuan uji materi Pasal 42 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU 30/2002) oleh advokat Gugum Ridho Putra.
Putusan ini diharapkan dapat menghilangkan kebingungan di antara penegak hukum terkait kasus korupsi yang melibatkan unsur sipil dan militer.
Sebelum adanya perubahan, Pasal 42 UU KPK hanya mengatur kewenangan KPK untuk mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang melibatkan unsur militer dan sipil.
Namun, MK menilai bahwa pengaturan ini masih menimbulkan multitafsir.
Oleh sebab itu, MK menambahkan frasa kunci yang berbunyi:
“Sepanjang perkara dimaksud proses penegakan hukumnya ditangani sejak awal atau dimulai/ditemukan oleh KPK.”
Tambahan ini memberikan kepastian bahwa KPK memiliki otoritas penuh atas kasus korupsi koneksitas, selama penanganannya berasal dari inisiatif KPK sejak awal.
Korupsi koneksitas adalah kasus yang melibatkan pelaku dari unsur sipil dan militer secara bersama-sama.
Dalam praktiknya, kasus semacam ini kerap menimbulkan kendala karena perbedaan pemahaman di antara aparat penegak hukum.
MK menyebutkan, perbedaan interpretasi Pasal 42 UU KPK menjadi salah satu penyebab utama.
Menurut MK, penegak hukum harus memahami pasal tersebut secara gramatikal, teleologis, dan sistematis.
Penafsiran yang jelas ini diharapkan dapat menghindarkan budaya sungkan atau “ewuh pakewuh” yang sering menjadi hambatan dalam penegakan hukum kasus korupsi.
Hakim Konstitusi Arsul Sani menjelaskan bahwa penegakan hukum korupsi harus bebas dari rasa segan, khususnya dalam kasus yang sudah diatur tegas dalam perundang-undangan.
Dengan adanya frasa tambahan dalam Pasal 42, KPK dipastikan memiliki kewenangan:
- Menyelidiki dugaan korupsi yang melibatkan sipil dan militer.
- Menyidik kasus yang berasal dari temuan atau inisiatif awal KPK.
- Menuntut hingga perkara tersebut memperoleh putusan berkekuatan hukum tetap.
Sebaliknya, jika kasus korupsi militer ditemukan dan ditangani oleh lembaga lain sejak awal, tidak ada kewajiban bagi lembaga tersebut untuk menyerahkannya kepada KPK.
Setelah putusan MK, maka bunyi lengkap Pasal 42 UU 30/2002 adalah sebagai berikut:
KPK berwenang mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum, sepanjang perkara dimaksud proses penegakan hukumnya ditangani sejak awal atau dimulai/ditemukan oleh KPK.
Dengan revisi Pasal 42, MK berharap tidak ada lagi keraguan bagi KPK dalam menjalankan kewenangannya, khususnya pada kasus korupsi koneksitas.
Kejelasan ini diharapkan dapat meningkatkan efektivitas penegakan hukum, mengurangi budaya ewuh pakewuh, dan memastikan transparansi dalam penyelesaian kasus-kasus korupsi yang melibatkan militer.
Keputusan ini juga diharapkan menjadi tonggak baru dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, dengan KPK sebagai garda terdepan yang memiliki kewenangan penuh untuk menindak kasus korupsi lintas yurisdiksi.