Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menjadi sorotan setelah permintaannya agar penambang ilegal diakomodir oleh PT Timah. Permintaan ini diungkap dalam persidangan kasus korupsi timah yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada tanggal 11 September 2024. Pada sidang tersebut, Kepala Unit Produksi PT Timah wilayah Bitung, Ali Syamsuri, menjadi saksi untuk terdakwa yang melibatkan eks Direktur Utama PT Timah, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani.
Arahan Jokowi untuk Penambang Ilegal
Ali Syamsuri memberikan kesaksian bahwa dalam salah satu kunjungan kerjanya ke Bangka Belitung, Presiden Jokowi meminta PT Timah untuk membina penambang ilegal dan mengupayakan agar kegiatan mereka bisa dilegalkan. Ali mengutip arahan Jokowi dengan mengatakan, “Statement Beliau adalah ‘ya itu semua masyarakat saya, minta tolong bagaimana caranya yang ilegal ini menjadi legal.’”
Arahan ini memunculkan banyak pertanyaan. Bagaimana legalisasi penambang ilegal akan dilaksanakan tanpa merusak lingkungan yang sudah terlanjur rusak? Pertanyaan tersebut juga menjadi perhatian jaksa yang menggali lebih dalam peran perusahaan mitra Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP) yang mengumpulkan bijih timah dari penambang ilegal.
Situasi Penambang Ilegal di Lapangan
Ali juga menjelaskan bahwa masyarakat di sekitar area tambang seringkali terlibat dalam kegiatan penambangan ilegal. PT Timah mencoba membina mereka agar tidak terus dikejar oleh aparat penegak hukum. Bijih timah hasil penambangan ilegal ini kemudian disalurkan melalui mitra yang memiliki izin IUJP, meski kontrol terhadap kegiatan penambang ilegal tersebut sangat sulit dilakukan.
“Penambang ilegal sudah ada sejak 2005, ketika saya pertama kali bekerja di PT Timah,” ungkap Ali. Ia menambahkan bahwa penambang ilegal sering kali berpindah-pindah dan sulit dikontrol. “Susah untuk mengontrol, dan mereka mengatasnamakan istilahnya perut rakyat,” jelasnya. Hal ini menggambarkan dilema antara kebutuhan masyarakat untuk bertahan hidup dan upaya pemerintah menjaga ketertiban.
Kerugian Negara dari Kasus Timah
Salah satu poin yang paling mengejutkan dari kasus ini adalah besarnya kerugian negara yang ditimbulkan. Berdasarkan audit yang dilakukan terhadap tata niaga timah PT Timah dari tahun 2015 hingga 2022, negara mengalami kerugian sebesar Rp 300 triliun. Mayoritas kerugian ini berasal dari kerusakan lingkungan, dengan rincian kerugian ekologi mencapai Rp 183 triliun, kerugian ekonomi lingkungan sebesar Rp 75 triliun, dan biaya pemulihan lingkungan sekitar Rp 11 triliun.
Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh penambangan ilegal dan kurangnya pengawasan menjadi isu besar yang tak bisa diabaikan. Lingkungan hancur, perekonomian terdampak, sementara masyarakat terus berjuang di antara hukum dan kebutuhan hidup.
Mengakomodir Penambang Ilegal, Solusi atau Masalah?
Arahan Presiden Jokowi yang bertujuan untuk “melegalkan” penambang ilegal mungkin terdengar seperti solusi yang berpihak pada rakyat kecil. Namun, pertanyaan yang lebih mendalam adalah: Apakah solusi ini justru membuka pintu bagi kerusakan lingkungan yang lebih parah? Bagaimana mekanisme legalisasi ini akan diimplementasikan tanpa mengorbankan kelestarian alam yang sudah rusak?
Kita semua tahu bahwa penambangan ilegal tidak hanya berdampak pada kerusakan ekosistem, tapi juga berpotensi menimbulkan ketidakadilan ekonomi. Jika legalisasi dilakukan, apakah perusahaan besar tetap akan diuntungkan lebih besar dari para penambang kecil? Ini adalah pertanyaan yang seharusnya kita renungkan bersama.
Namun, kita juga tidak boleh menutup mata terhadap fakta bahwa masyarakat sekitar tambang bergantung pada industri ini untuk bertahan hidup. Dengan pendekatan yang lebih holistik, mungkin ada cara di mana kebutuhan mereka dapat terpenuhi tanpa harus merusak lingkungan lebih jauh. Pemerintah perlu mempertimbangkan solusi yang adil bagi semua pihak, baik dari segi ekonomi, lingkungan, maupun sosial.
Langkah yang diambil Jokowi ini seharusnya diikuti dengan kebijakan yang lebih tegas dalam melindungi lingkungan dan memastikan keuntungan dirasakan secara merata oleh masyarakat, bukan hanya segelintir pihak.
Dalam beberapa kasus, daerah tambang yang dikelola dengan model community-based mining atau penambangan berbasis masyarakat berhasil menjaga keseimbangan antara ekonomi lokal dan kelestarian lingkungan. Model ini dapat menjadi solusi alternatif yang patut dipertimbangkan oleh pemerintah dalam mengakomodir penambang ilegal, jika diterapkan dengan regulasi yang ketat dan pengawasan yang konsisten.