Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi menetapkan Prasetyo Boeditjahjono, mantan Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalur kereta api Besitang-Langsa di Balai Teknik Perkeretaapian Medan.
Proyek ini dilaksanakan pada periode 2017—2023.
“Berdasarkan alat bukti yang cukup, pada hari ini, setelah pemeriksaan secara maraton selama 3 jam, penyidik menetapkan PB sebagai tersangka,” ungkap Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, di Jakarta.
Prasetyo ditangkap oleh Tim Intelijen Kejagung di sebuah hotel di Sumedang, Jawa Barat, setelah mangkir beberapa kali saat dipanggil sebagai saksi.
Penangkapan ini dilakukan bersama tim penyidik Jampidsus untuk memastikan kehadirannya dalam proses hukum.
Proyek pembangunan jalur kereta api ini merupakan bagian dari pembangunan jalur KA Transsumatera yang menghubungkan Sumatera Utara dan Aceh.
Anggaran proyek sebesar Rp1,3 triliun berasal dari Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).
Pada periode 2017—2023, Prasetyo diduga memerintahkan Nur Setiawan Sidik (NSS), selaku kuasa pengguna anggaran, untuk membagi proyek konstruksi menjadi 11 paket.
Instruksi ini disertai permintaan memenangkan delapan perusahaan tertentu dalam lelang.
Ketua Pokja Pengadaan Barang dan Jasa, Rieki Meidi Yuwana (RMY), bertindak atas instruksi KPA dan menyelenggarakan lelang tanpa dokumen teknis yang sesuai dengan regulasi.
Pelaksanaan lelang tersebut tidak memenuhi standar kualifikasi yang seharusnya dan melanggar aturan pengadaan.
Abdul Qohar menjelaskan bahwa pembangunan jalur KA Besitang-Langsa dilakukan tanpa studi kelayakan dan dokumen trase yang memadai dari Kementerian Perhubungan.
Pihak KPA, bersama konsultan pengawas, memindahkan jalur pembangunan tanpa mengikuti desain yang telah direncanakan, mengakibatkan jalur tersebut amblas dan tidak dapat digunakan.
Prasetyo Boeditjahjono diduga menerima uang sebesar Rp1,2 miliar dari Akhmad Afif Setiawan (AAS), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), serta Rp1,4 miliar dari PT WTJ.
Tindakan ini menyebabkan kerugian negara mencapai Rp1,157 triliun berdasarkan penghitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Prasetyo disangkakan melanggar Pasal 2 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah menjadi UU No. 20 Tahun 2021, serta Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan tujuh tersangka terkait korupsi proyek ini, dan beberapa di antaranya telah menjalani persidangan.
Pada 24 Oktober 2024, tiga terdakwa, yakni Akhmad Afif Setiawan, Halim Hartono (mantan PPK Pekerjaan Konstruksi), dan Rieki Meidi Yuwana, dituntut hukuman 6—8 tahun penjara.